Senin, 16 April 2012

GUGUR


Karya: W.S. Rendra


Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya.

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya.

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya.

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya.

Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa.

Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika ia menutup matanya

DENGAN KASIH SAYANG


Karya: W.S. Rendra


dengan kasih sayang
kita simpan bedil dan kelewang
punahlah gairah pada darah,

jangan !
janah dibunuh para lintah darah
ciumlah mesra anak yang tak berayah
dan sumbatkan jarimu pada mulut peletupan
karena darah para bajak dan perompok
mereka bukan tapir atau badak
hatinyapun berurusan cinta kasih
seperti jendela terbuka bai angin sejuk!

Kita yang sering kehabisan cinta untuk mereka
Cuman membenci yang nampak rompak
Hati tak bisa berpelukan dengan hati mereka
Terlampau terbatas pada lahiriah masing pihak.
Lahiriah yang terlalau banyak meminta!

Terhadap sajak yang paling utopis
Bacalah dengan senyuman sabar

Jangan dibenci kaum pembunuh.
Jangan biarkan anak bayi mati sendiri.
Kere-kere jangan mengemis lagi
Dan terhadap penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari jendela hati yang bersih.

GADIS PEMINTA-MINTA


Karya : Toto Sudarto Bachtiar


Setiap kali bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa

Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang

Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas di atas air kotor, tapi yang begitu kau hafal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukaku

Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku hidupnya tak lagi punya tanda

MEMBACA TANDA-TANDA


karya: Taufiq Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
Dari tangan
Dan meluncur lewat sela sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara
Abu-abu warbanya
Ita saksikan air danau
Yang semakin surut jadinya
Burung - burung kecil
Tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting    kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam
Didesak asam arang
Dan karbon dioksida itu
Mengigilas paru- paru
Kita saksikan
Gunung    membawa abu
Abu         membawa batu
Lindu        membawa longsor
Longsor    membawa air
Air        membawa banjir
Banjir        membawa air

Air
Mata

Kita telah saksikan seribu tanda- tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu bamjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya
Mulai lepas dari tangan
Akan meluncur lewat sela sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya
Tak begitu jelas
Tapi kini kami
Mulai merindukannya

BAGAIMANA KALAU


Karya : Taufik Ismail

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.

PERJALANAN KUBUR


Karya: Sutardji Calzoum Bachri

Luka ngucap dalam badan
Kau telah membawaku keatas bukit
Ke atas karang ke atas gunung
Ke bintang-bintang
Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
Untuk kuburmu alina

Untuk kuburmu alina
Aku menggali-gali dalam diri
Raja darah dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
Menyeka matari membujuk bulan
Teguk tangismu alina

Sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
Laut-pergi ke laut membawa kubur-kubur
Awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
Hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
Membawa kuburmu alina

BATU


Karya : Sutardji Calzoum Bachri

        batu mawar
        batu langit
        batu duka
        batu rindu
        batu janun
        batu bisu
        kaukah itu
                        teka
                                teki
        yang
        tak menepati janji ?
    Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
    hati takjatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
    seribu beringin ingin tak teduh.  Dengan siapa aku mengeluh?
    Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampa mengapa gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
    diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai
    sedang lambai tak sampai.  Kau tahu
        batu risau
        batu pukau
        batu Kau-ku
        batu sepi
        batu ngilu
        batu bisu
        kaukah itu
                                teka
                        teki
                        yang
        tak menepati
                        janji ?

MENUJU KE LAUT


Karya: Sutan Takdir Alisyahbana


Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat.

“Ombak ria berkejar-kejaran
di gelanggang biru bertepi langit.
Pasir rata berluang dikecup,
tebing curam ditantang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega”.

Sejak itu jiwa gelisah,
Selalu berjuang, tiada reda,
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.

Gemuruh berderu kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya,
Gegap gempita suara mengerang,
dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti
pekik dan tempik sambut menyambut.

Tetapi betapa sukarnya jalan,
badan terhernpas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut,
namun kembali tiadalah ingin,
keterangan lama tiada diratap.

Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat.

SAJAK SEORANG PRAJURIT


Karya: Suminto A. Sayuti

(seorang prajurit telah meninggalkan pabarisan
sebab sebuah keyakinan bersarang dikalbunya :
orang tak harus menang)

palangan ditinggalkan
terompet perang tak didengarkan
gendawa ditinggalkan
busur dipatahkan).

ya, akulah seorang prajurit yang lolos
dan mencoba lolos dari kurukaserta
menjadi seonggok sajak yang tersesat
di pinggir belantara.

(yang mencatat aum serigala
yang mencatat cericit burung di belukar
yang basah oleh embun
yang kering oleh matahari
yang terjun dalam jeram
yang tersesat dalam ruang tata warna).

telah kutinggalkan palagan
sebab palagan sebenarnya ada dalam badan
telah kutanggalkan gendawa sebab gendawa
sebenarnya hati tanpa wasangka
telah kupatahkan busur
sebab busur sebenarnya keberanian tak pernah luntur.

akulah prajurit yang telah terpisah dari pabarisan
dan menciptakan medan dalam sanubari
Pandawa-korawa dalam daging-daging berduri
Krisna dalam samadi
kemenangan dalam angan-angan
panah, kereta, tombak,
kuda darah,strategi, tulang, singgasana,
Sejarah...
dalam diri

akulah prajurit dengan sejuta tombak tertancap
yang lolos dari genangan darah, tonggak-tonggak tulang
kerikil gigi, ganggang rambut, panji-panji perang.

akulah prajurit bersimbah darah
yang menyusun jitapsara dengan tinta kehidupan
duduk sendiri di pinggir hutan.

akulah prajurit pewaris tahta kerajaan
yang tersenyum pada langit dan bumi
dengan senandung air mengalir, irama ganggang tak kenal akhir

akulah prajurit yang diharapkan
dapat mematahkan lawan
dengan telak dalam satu kali gempuran

ya, akulah yang banyak berharap dan diharapkan
sehabis usia lunas disini :
peremouan-perempuan desa:
tak lagi menjadi buruh-buruh industri kota 
tak lagi membanjiri lokal-lokal prostitusi
untuk sekedar mempertahankan hidupnya
para petani tak lagi berpikir
dan bertanya-tanya
besok pagi kita makan apa

para penguasa
tak lagi berorientasi pada status,
jabatan, kursi, kewenagan,
dan sejengkal perut
dan bakal terlahir atas nama sukmamu
seorang pembela kawula yang celaka dan tertindas
dari denyut ke denyut, dari waktu ke waktu

akulah seorang prajurit yang terluka
dan lari dari medan pebarisan
tapi, luka itu tak lagi berdarah
dan menyiksa Cinta berbunga
kapan usia mengain: aku hanya seorang manusia

MANUSIA PERTAMA DI ANGKASA LUAR


Karya: Subagio Sastrowardoyo

Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dengan siang.
Hanya lautan yang hampa di lingkung cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, –itu anak-anak berandal yang kucinta–
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak terberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.

Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.

ZIARAH


Karya: Sapardi Djoko Damono


Kita berjingkat lewat
Jalan kecil ini
Dengan kaki telanjang : kita berziarah
Ke kubur orang–orang yang telah melahirkan kita
Jangan sampai terjaga mereka!
Kita tak membawa apa–apa. Kita
Tak membawa kemenyan atau pun bung –bunga
Kecuali seberkas rencana–rencana kecil
( yang senantiasa tertunda–tunda ) untuk
Kita sumbangkan kepada mereka.
Apakah akan kita jumpai wajah–wajah bengis,
Atau tulang belulang, atau sisa–sisa jazad mereka,
Ibu-bapa kita yang mendongeng
Tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu,
Tanpa menyebut-nyebut nama
Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita,
Kenangan yang membuat kita merasa
Pernah ada
Kita berziarah, berjangkitlah sesampai
Di ujung jalan kecil ini,
Sebuah lapangan terbuka
Batang-batang cemara
Angin
Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga
Mereka lelah tidur sejak abad pertama,
Semenjak hari pertama itu,
Tak ada tulang belulang tak ada sisa-sisa jasad mereka
Ibu bapa kita sungguh bijaksana, terjebak
Kita dalam dongengan nina bobok
Di tangan kita bekas-bekas rencana
Di atas kepala
Sang Surya.

SYIWA-NATARAJA


Karya: Sanusi Pane
Kepada R. Soeratmaka


Pada perjalananku melalui langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termayhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat
Astana Rahwana sebagai bulan purnawa raya.
Dan di negara Godawari dan Krisyna, Nataraja.
Mahadewa sebagai Penari. Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputera,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura,
Madiadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Karusetra Aku berada di Sarnath negara,
Tempat Budha pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna.
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak berkata
Dalam taman dan astara Taj Mahal, Mutiara Timur
Tempat Syah Jaha dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi, mengenang cinta.
O, jiwa India

Kupandang gilang-gemilang, kurasa mahamulya
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku selurus lama.
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam Candi Kencana, yang beridir di jantung hati
Tanah Hindustan
Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani dengan mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina : Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya
Di Indonesia tanah airku.
Natesa berdiri

Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat’ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di’alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati.
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata,
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian ‘alam berhenti beredar memberi hormat,
Jiwa makin lama kian lebar dan pada saat
Ia beridir dari kalbu hati dunia, segala ‘alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
Dirinya : la satu dengan Nataraja, Mahadewa
Ialah dia : seorang yang mencari sudah merdeka!
“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke Candi, dari negheri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah,
Tari segala ‘alam, Masukilah api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya yang Syiwa-Nataraja”

Di atas buta, tangan kanan memegang gendeng, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya : angan-angan
Keindahan
Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian. Tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang-benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada
Sunyi
Dari memenuhi seantero dunia. ‘Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang-benderang dan ‘alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
Tiap ‘alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang. Makhluk yang indah permai, yang
Gilang-gemilang
Masuk ke dalam, ke luar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara ‘alam yang silang-bersilang,
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa”,
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar. Apa yang kau pandang, terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti. Semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar

Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya,
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya,
Dibikinnya sendiri. Api memusnahkan kebatannya
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuaca terang.
Tetapi beli ia merdeka, berkali-kali lagi
Ia masuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan
“nyata”.

KOLAM


Karya : Rustam Effendi

Di tengah
kolam yang indah
tenang,
berenang
seekor gangsa
Sayapnya putih
bulunya jernih,
jernih
biji matanya
Bak pulai
leher semampai
junjang
memandang
bercermin air
Renangnya hening
airnya bening
hening
tiada berdesir.

OMBAK


Karya: Presiden Negri Pantun

Angin
membuat ombak bergulung
menghempas bibir manis pantai
mengalun seiring irama
cinta akan penguasa alam

Angin kencang
membuat ombak tak lagi senang

Ombak besar bergulung
menghempas tiang-tiang panggung
menyisakan atap rumbia
betebar kemana mana

Ombak bergulung
menghempas aspal hitam
menyisakan lubang dalam
jalanan kelam

Ombak bergulung
menghempas batin
menyisakan perih jiwa
tersiksa Raga

HAY OMBAK!
kenapa kau hentam kami
kenapa tidak kau hentam rumah-rumah itu
rumah yang dibangun dari keringat rakyat
kenapa tidak kau hentam gudang-gudang itu
yang isinya barang-barang maksiat
kenapa tidak kau hentam kantor-kantor itu
yang kerjanya menipu rakyat
kenapa tidak kau hentam orang-orang itu
yang meresahkan dan menjadi sampah masysrakat

KENAPA??

ombak melambatkan alunan tinggi besarnya
menyapa sukma di dalam raga
menjawab dalam Imaji
Karena Kalian yang MEMILIH!!!


pada 04 Oktober 2009 jam 22:46


TESTIMONI ZAMAN


(eps.2)
Karya: Pietra Sar


seperti kesepian mendeask waktu
mencari kenangan hingga kepaling sisi
dan jiwa-jiwa jenuh kian terpuruk jua
merunduk tertatih memanggil pengabdian demi pengabdian

sementara angkara tak kenal lelah
melepaskan dalam rangkuhan lagu-lagu
mesranya gulali bagi sangsai hati
dilantunkan dari ruang-ruang gaib
tanpa ada yang menyadari
bahwa diri telah lama ditahbiskan
menjadi kecoa, kelimpungan dalam kelambu
pengab, perangkap zaman

sungguhnya kesetiaan macam apakah
begitu sudi menghela waktu pada keberadaan prasangka
yang tak sudah menjilati daki-daki dusta dengan sukacita
lalu bertampiksorak dalam barisan para pendekar

oh
wahai cermin-cermin retak bertikai
siapakah dibumi gembur ini
yang masih punya otak dan rela mengolahnya
menjadi hati nurani?

Jakarta, selasa 02 Februari 2010
(C) Pietra Sar

MERAWAT KATA



Kekasih, Kemarau kali ini, Tidak ada jingga, Tidak ada jingga
Pay Djarot Sudjarwo

“kekasih, nyanyikan aku sebuah sajak cinta di ujung senja dengan jingga yang penuh nyala”

aku terngiang permohonanmu manjamu, manis
setiap sabtu sore, dulu kita sering, mengantar matahari pergi dan menjemput
kedatangan jelaga, di pinggiran kapuas, bersama bocah-bocah melayu telanjang
yang berkecipak riang, betapa jingga senja menjadi alasan paling berharga bagiku
untuk menyanyikan sajak – sajak cinta. ”kepadamu sajak sederhana ini kupersembahkan.”kira-kira demikian kututup sajakku  dengan badan sedikit membungkuk. kau tersenyum manis. seperti aktor di sinetron-sinetron remaja, kurangkul pundakmu, kupinjamkan dada tipisku untuk kepalamu bersanda.
selanjutnya, kuyakin kau masih mengingatnya, mata kita sama-sama menatap barat cakrawala demi jingga yang begitu sempurna. Indah dan sangat menggoda.

manis, aku terngiang permohonan manjamu. tentang sebuah sajak cinta.
tentang jingga senja yang penuh menyala. ”kekasih, suatu hari aku akan meminta kau menyanyikan kembali” begitu ucapanmu sebelum kau pergi. Kau akan memintanya kembali manis? Angka-angka kalender tanggalan, hujan berganti kemarau. Kuulangi manis, hujan berganti kemarau kuulangi manis,hujan berganti kemarau. Kemarau, musim kita merawat romantisme-seperti anak-anak yang baru masuk sma, seperti film india, juga telenovela-tentu saja ada jingga senja keindahan begitu rupa.

Sebelum kau pergi pada tahun-tahun yang lewat, sempat pula suara lirihmu berbisik bahwa akan kembali. Melewati sore, ikut riang dengan kecipak senag bocah-bocah melayu telanjang di sungai terpanjang, tapi manis, kemarau kali ini memaksaku berharap kau tak kembali.sebab  jingga yang kurindukan, tak pernah lagi menghiasi cakrawala. Kemarau kali ini terasa begitu panjang, begitu panjang, begitu menyesakkan, tak ada kecipak di atas kapuas, kumohon, jangan datang pada kemarau kali ini.

(belantara katulistiwa masih merah menyala
asap tebal menghiasi cakrawala
tidak ada jingga
tidak ada jingga)

Pontianak
Tepian Kapuas, Oktober 2006.

BALADA TANAH


Karya: Odhy’s


Kita kendikendi tanah
Yang dikirim kewarung dunia
Dibelinpara tuan nafsu. Menyepuhnya
Dengan ruh iblis-iblis. Berlaga
Dipangung-panggung kolosal
Berthema besar : kalah dan menang

Ada banyak pilihan yang bakal terjadi
Kendimu pecah lantas dibuang
Dalam wadah barang rongsokan
Tak sesiapa mau meramal nasibmu
Semua melupakan begitu saja

Ada kendi-kendi yang retak cuma
Pasti tangan halus dengan terampil
Memolesnya untuk beberapa lama. Memproses
Biar kendi itu sempurna bagai semula

Kita dapat menjaga kendi agar utuh
Saat diambil kembali. Ia dibeli
Dari warung dunia, setelah harga nafsu
Dan kekuasaan ruh iblis dibebaskan

MASIH ADA DOA


Karya: Mustofa W. Hasyim


Masih ada doa
yang diucapkan sambil menangis
tetapi orang-orang melihat
dan mendengarkan sebagai gerak
dan suara tertawa

Masih ada doa
yang bermata air dari keprihatinan
dari kemarahan, dari ketidakmengartian
tetapi orang-oarang menangkapnya
sebagai keramahan dan kalemahan

Masih ada doa
yang berproses bersama luka, bersama kelelahan,
bersaama penindasan, penghinaan, penyerimpungan
dan penghadangan
tetapi orang-orang merasakannya
sebagai kenikmatan dan kesyukuran

Masih ada doa
yang pahit karena berakar pada keikhlasan
melihat kekonyolan, pertarungan, perebutan jabatan,
perebutan harta, perebutan kesempatan
perlombaan  mengibarkan nama, dan
kebuntuan-kebuntuan langkah
dari jiwa-jiwa kerdil,
tetapi orang-orang menganggapnya
sebagai hijan madu
yang harus dijilat ramai-ramai

Masih ada doa
yang lahir dari luka
tapi orang-orang menghayatinya
sebagai pesta

Masih ada doa
yang matang bersama kakhawatiran
dan kecemasan atas zaman yang
dipadati oleh virus-virus jiwa,
tetapi orang-orang menyebutnya
dengan bertepuk tangan gembira

Masih ada doa-doa panjang
dari jiwamu yang pasrah
tetapi orang-orang yak memahami
makna-maknanya.

INDONESIA TUMPAH DARAHKU


Karya : Muhammad Yamin

Bersatu kita teguh
Bercerai kita runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya. Tanah airku
Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di alam nan lapang
Tumpah darah Nusa India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia

IBU DI DESA


Karya: Linus Suryadi AG

Kadisobo

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun jawa
Ia tak bias ngomong aktif Indonesia, tapi pasif saja
Tapi budi bahasa jawa ngoko dan karma, janagan tanya
Ia suka mengaliri sawah seperti juga hidupnya

Ibu saya, seperti ibu-ibu yang lain di susun jawa
Ia tak pernah lupa kehilangan seorang anaknya
Ia selalu ingat hari lahir dan hari kematiannya
Tapi ia selalu lupa besar tebusan bagi hidupnya

Ibu saya, seperti ibu-ibu  yang lain disusun jawa
Ia suka cerita ganas dan rakusnya si Cebol kepalang
Sebelum 17 Agustus 1945. harta digarongnya pulang
Ia berjarik & baju goni dan bagor. Kutunya banyak pula

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa
Ia suka berkeluh kesah soal harga panennya
Untuk gabah dan palawija. Untuk upacara desa
Tak seimbang dengan ongkos sakit dan sekolah anaknya di kota

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa
Ia butuh sandang pangan dan papan secukupnya
Ia butuh kondangan bagi anak kandangnya
Dan asesori lumrah pacakan dalam pergaulan di desa

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa
Pada esuk uthuk-uthuk in the morning ia masak
Lepas fajar ia pun berangkat ke sawahnya kerja
Tapi peteng repet-repet in the evening molor di depan tevenya

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa
Ia gemar ketoprak, wayang purwa, terian Jawa
Tapi filemnya mancak tidak.”Tak pernah rampung”,kritiknya
Ia tak suka teka-teki seperti juga hidupnya

Ibu saya, seperti ibu-ibu lain di dusun Jawa
Ia pun suka ziarah ke kubur. Nengok bumi leluhur
Kubur bumi lebih mulia ketimbang kuber laut dan api
ia kirim bunga tanda kasih dan kasihNya yang abadi

ibu saya,, seperti ibu-ibu lain di dusun jawa
ia suka ke pasar bringharjo di lota
segala keperluan dapur. Sehabis musim tidur
dia ia pun rajin menaikkan beban hidupnya ke sorga

ibu saya,, seperti ibu-ibu di dusun jawa
ia suka ,,, berbagi suka-duka dengan para tetangga
lhaya.Ibu saya. Ia selalu butuh ini dan itu juga
tapi kebutuhannya tak lebih besar dari ibu-kota.

API


Karya: Kuntowijoyo


Yang tak pernah memetik api
Terkutuk untuk tinggal di bukit kapur
Menunggu sumur tua
Yang mata airnya
Mendengarkan kesiur angina kering
Yang menotok telinga

Sebab hidup selalu sebaiknya. Mereka yang tak
Sernah menempa api
Tak mengerti sejuk air
Bahkan ketika mengosongkan gelas
Sesudah tamu terakhir melangkah pintu

Api sebagai sukma
Ia mengembara
Dan jatuh kasihan hanya pada leleki
Yang kasar tangannya
Dan sanggup menggenggam bara
Ketika api sedang bercinta

Karena api suka pada laki-laki
Maka ia nyalakan matanya. Sebab hidup selalu
Sebaliknya: mata lelaki juga mata menjangan
Juga mata singa
Juga mata garuda
Juga mata naga.

DIBAYANG MATA PAK DIRMAN


Karya: Kirdjomuljo


Saat kutatap adamu di masa silam
Kulihat adamu dimana datang dan lebih menyala
Meyakinkan generasiku
Harus menyelesaikan yang telah dimulai

Kutemukan di bayangan matamu
Jiwa yang bangkit dan mesti kusetiai
Kutemukan bibayang matamu
Jiwa yang tenggelam karena harus tenggelam

Kuperingatkan kepadamu perjalanan yang panjang
Saat kebangsaanku merayap mencari dirinya
Menggenggam hutang dan piutang sejarah
Untuk satu hal yang berhak dicintai

Kini aku hanya bisa menundukkan kepala
Tidak tahu janji apa hendak diucapkan
Tidak tahu jalan mana menuju kesampingmu
Tetapi aku merasa akan sampai di bayangmu

ISYARAT MAGHRIB


karya: Iman Budhi Santoso


Menyaksikan langit merayap jingga
masjid-masjid menyala, bersuara
daun pohon merunduk luruh
burung menyimpan sayap serta paruh
debu mengendap. Belukar semakin lindap
mata dan hari rindu berkejaran
menikmati bulan di bubungan atap

Lupakanlah esok masih jauh
malam baru akan tertanam
belum jelas bunga atau tuba
terpanen diakhir cerita

Lupakan kini saatnya bersuci
membasuh kaki, membersihkan tangan ?
Ribuan kesempatan tak mungkin berulang
sebelum dilaporkan, dipertanggungjawabkan
Rrnci dan memuaskan

Lupakah sunyi waktunya menguji
Do’a yang kita miliki. Dan Maghrib
isyarat perjalanan gaib
menuju Tuhan. Menyiapkan malam
bukan sebuah perjalanan merantau
ke lembah hitam menakutkan.

DI BAWAH KIBARAN BENDERA


Karya: Imam Budhi Santosa


Anak-anak khatulistiwa, matahari menggeliat di punggungnya
Berpacu kesegenap penjuru memburu suaka
Hingga ke dasar laut, selat, serta muara-paya,
Pada keasaman tanah gambut tergali harga diri
Menandingi tinggi tegaknya kayu balsa dan meranti menentramkan
Sejarah penindih nurani
Walau tak seramah anggukan bunga padi
Meski tak semudah meraba denyut jantung
Di dada kiri. Seperti birunya gunung
Ternyata lereng terjal sulit didaki

Anak-anak khatulistiwa, matahari tertegun di pundaknya
Adalah mimpi yang tak habis-habisnya menggarami luka
Perihnya berlipat selagi hidup ditafsirkan sandiwara
Adalah sia-sia pulau demi pulau membiarkan cuaca
Silih berganti menapakkan kaki
Sekadar mengikuti perputaran semesta
Sementara kita masih saja berdesakan
Di pinggir-pinggir kota. Bergantung pada sampah
Dan menjadi sampah. Terpasung menikmati lagu
Dan membantu. Sewaktu langit berubah mendung
Tega menjadikan tempurung rumah bagi anak cucu

Anak-anak khatulistiwa, bukan di jalanan tempatnya
Bukan rembulan yang memantulkan kedamaian
Di hati manusia. Bukan pualam
Yang memisahkan derajat para bangsawan
Dengan hamba sahaya. Di atas tanah kita
Tidak terdapat garis yang melintang
Mengiris dari selatan ke utara.

Aib dan tercela terdengar silang-sengketa
Menerobos keluar melalui pintu jendela
Malaikat siap mencatatnya sebagai dosa dunia
Bagi setiap manusia yang menyerah di buncang prahara
Anak-anak pemberani memilih sunyi
Hutan dan perbukitan yang mengantarkan jati diri
Anak-anak pengabdi memilih tiang penglari
Sebagai kiblat dimana harus menancapkan kaki
Anak-anak berbakti melatakkan beban duniawi
Di tangan kiri, yang kanan menaburkan kebenaran
Benih-benih suci fatwa Ilahi
Kalimah-kalimah Nabi, menggugah kehidupan
Sebuah kebangkitan indah pagi hari
Dari pembaringan yang menyesatkan
Dari peperangan yang menghancurkan
Dari kebodohan yang mabenamkan
Terhadap siapa kemerdekaan ini diwariskan

Sudah berulang kali terlampaui jurang lembah
Badai serta musibah. Kini sambil tertatih
Tangan-tangan kecil berlatih memegang dan meraih.
Bagi yang tersisih tak perlu di tangisi
Bunga dan buah tidak semuanya jadi
Tapi jangan biarkan ada yang kedinginan
Mencuri atau kelaparan di rumah sendiri

Mereka adalah tumbal sesaji. Timbunan batu kali
Harus terletak di bawah permukaan bumi
Menjadi  akar tempat berpijaknya bangunan ini
Di bawah kibaran bendera, kicau burung
Salak anjing, beriring memasuki istana.
Serasi tanpa selisih, menghapus tumpang tindih
Semuanya ingin berlayar bukan berdalih
Biarpun hanya penggali tambang, pemikul keranjang
Kusir pedati atau pejalan kaki
Memandang kibaran bendera
Tubuh mereka menggigil
Jiwa mereka terpanggili
Mengacungkan jari
Ikut bernyanyi
: padamu Negeri

WAJAH KITA


Karya: Hamid Jabbar


Bila kita selalu berkaca setiap saat
Dan di setiap tempat
Maka tergambarlah:
Alangkah bermacamnya
Wajah kita
Yang berderet bagai patung
Di toko mainan di jalan braga:
Wajah kita adalah wajah bulan
Yang purnama dan coreng-moreng
Serta gradakan dan bopeng-bopeng
Wajah kita adalah wajah manusia
Yang bukan lagi manusia
Dan terbenam dalam wayang
Wajah kita adalah wajah rupawan
Yang bersolek menghias lembaran
Kitab suci dan kitab undang-undang
Wajah kita adalah wajah politisi
Yang mengepalkan tangan bersikutan
Menebalkan muka meraih kedudukan
Wajah kita adalah wajah setan
Yang menari bagai bidadari
Merayu kita menyatu onani

Bila kita selalu berkaca
Yang buram tak sempurna
Maka tergambarlah
Alangkah
Wajah kita
Yang terkadang bagai binatang
Di kota di taman margasatwa
Wajah kita adalah wajah srigala
Yang mengaum menerkam mangsanya
Dengan buas, lahap dan gairahnya
Wajah kita adalah wajah anjing
Yang mengejar bangkai dan kotoran
Di tong sampah dan selokan-selokan

SETITIK NUR


Karya: Hamid Jabar

di dalam waktu dan malam yang mengairkan gairahnya
lahirlah aku setitik nur pijaranmu dan beranak pinak
dari tanda Tanya
dan bagai kupu-kupu aku terbang dari taman ke taman
hinggap di rimbunan daun kehidupan merendamkan muka
melepaskan dahaga mereguk embun yang turun bersama
cahaya bulan masuk dalam sejuta kembang kembara
atas putih harap
dan bagai lautan merpati membayangkan segala gelombang
dalam hempasan awan putih memagut layang-layang mencarimu
akan jawab pasti
pada pulau-pulau yang meratap dan merayap di lubuk hati
bumi yang dipijak dan terisak dan tak kuasa mengelak
dari kuasamu selalu
sampai-sampai jua aku pada batas itu
batas tetap seperti semula


1973

ASMARADANA


Karya: Goenawan Mohammad

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa
hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada
yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
Nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak
semuanya
disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
Pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh
ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang
akan tiba,
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku,
kulupakan wajahmu.

MEDITASI


Karya: Goenawan Mohamad

Dalam tiga waktu
Apa lagikah yang mesti diucapkan
Dalam gaung waktu bersautan ?
Di empat penjuru
Malaikat pun berlagu, lewat kabut
Dan terasa
Hari berbisik

Ada sekali peristiwa
Di relung-relung sunyi Hira
Terdengar seru :
”bacalah dengan nama Tuhanmu”

Maka terbacalah,
Tapi terbaca juga sepi ini kembali,
Menggetar, pada senyum penghabisan
Dan jatuh dalam sajak,
Sajak yang melambaikan tangan, terbuka
Dan bicara dengan senja di atas cakrawala:
Ada sesuatu yang terpandang bening
Dalam diriku, antara dinding,
Dimana terbunuh nama-Mu
Yang menjanjikan damai itu.

Bila langit pun kosong, dan berserakan bintang
Mengisinya : tidakkah akan kami gelisahkan, Tuhan
Segala ini? Tidakkah semacam duka
Untuk memburu setiap kata, setiap justa
Tentang kejauhan-Mu, tentang rahasia?
Sebab Engkaulah arah singgah
Yang penuh penjuru
Seperti bumi, hati dan mungkin puisi
Yang berkata lewat sepi, lewat usia
Kepadaku

Maka siapkan waktu
Dengan suara-Mu tegap
Yang sediam lembut
Detik-detik darah tersekap
Sementara baringkan

Kota dalam tidur jauh, malam

Berikan pula kami antara diam ini
Percakapan tiada sedih. Hanyalah malam
Yang makin tebal bila larut. Hanyalah lengang
Yang tertentang di ruang kusut. Tapi kami yang diam
Bisa bicara, tuhan, dalam selaksa warna-warni
Dan tidak ada perlunya sorga, dalam kemerdekaan
Seperti ini

Yang terhuni
Suara-suara bersendiri
Tak ada perlunya sorga yang jauh
Yang pasti dingin menyentuh:
Tanah yang dijanjikan
Dan telah ditinggalkan

Memusat matahari di bumi yang siang
Terpukau air kemarau, rumputan kering di padang-padang
Inipun satu malam, dan kami mengerti
Jauh dari iendra yang telanjang. Di tepi-tepi
Mencecah terik : namun di manakah sedih suara
Antara bisik-bisik jantung yang mengungkapkan kata-kata?

Ada sekali peristiwa
Di relung-relung sunyi
Terdengar seru :
”Bacalah nama Tuhanmu”

Maka berikanlah sunyi itu kembali
Sebab kami mengerti : Engkau tak hendakkan
Kami terima sedih alam ini,
Alam yang sendiri,
Yang terhampar jauh, sahabat tak terduga
Kabarkan: apa lagikah yang terucapkan,
Dalam gaung waktu bersautan
Yang begini damai, senyap,
Tuhan, begini menyekap.

1962

PUISI JALANAN


Karya: Emha Ainun Najib

Hendaklah puisiku ini lahir dari jalanan
Dari desah nafas para pengemis gelandangan
Jangan dari gedung-gedung besar
Dari lampu gemerlap

Para pengemis yang lapar
Langsung menjadi milik Tuhan
Sebab rintihan mereka
Tak lagi bisa mengharukan

Para pengemis menyeret langkahnya
Para pengemis batuk-batuk
Darah dan hatinya menggumpal
Luka jiwanya amat dalam mengental

Hendaklah puisiku anyir
Seperti bau mulut mereka
Yang terdampar di trotoar
Yang terisir dan terkapar

Para pengamis tak ikut memiliki kehidupan
Mereka mengintai sasib orang yang dijumpainya
Tetapi jaman telah kebal
Terhadap derita mereka yang kekal

Hendaklah puisi-puisiku
Bisa menjadi persembahan yang menolongku
Agar mereka menerimaku menjadi sahabat
Dan memaafkan segala kelalaianku

Yang banyak dilupan orang ialah Tuhan
Para gelandangan dan korban-korban kehidupan
Aku ingin jadi karib mereka
Agar bisa belajar tentang segala yang fana

MELAYUKAH AKU?


karya: Drs. Hj. Suryatati A. Manan (Wali Kota Tanjungpinang)

Ape tande orang melayu,
Tunjuk ajaranye menjadi penentu.
Kepade orang tue hendaklah hormat,
sepaye hidup menjadi selamat.
bahasenye santun,
lembut ditelinge,
menyape dengan sebutan,
Pak Long, Pak Ngah, dan Pak Busu,
itulah sebutan sayang orang melayu.
Pak Cik, Mak Cik, Emak, Bapak, Tok, Nek, Piot dan Oneng-oneng,
Juge panggilan orang melayu.
Atan, Awang, Amat, daud, Dolah, Siti, Timah, Salmah, dan Bedah,
itu juge nama khas melayu.
sayang, sebutan dan panggilan itu,
Sudah terkikis erosi globalisasi,
Sehingga berganti menjadi;
Uncle, anti, mami dan papi,
timah menjadi tince,
siti menjadi serly,
dolah menjadi delon,
daud menjadi david,
atan menjadi antoni.

kalau berade di tengah kote,
malu memakai bahase ibunde,
semue nak mengaku orang kote,
tak ade yang nak jadi orang kampung.

Tapi saat pemilihan kepale daerah,
Semue berlombe-lombe mangaku anak asli daerah,
akulah si Dolah itu, anak pak Busu yang lahir dihari minggu.
sebetolnye tak susah membuktikan die melayu,
Tak perlu tes urine ataupun DNA,
cukup tanyekan saje pertanyaan ini; "oi nak kemane tu",
Tak ade jawabnye.
Sedang ape? tak ade, itu juge jawabnye.
ini sudah pasti melayu asli.

JANDA


Karya: Drs. Hj. Suryatati A. Manan

Sepatah kata yang menggoda
Ketika diucapkan ada yang tersenyum, tertawa, mencibir
bahkan terkejut, pikiran dipenuhi carut marut khayalan,
Masih muda kah dia?
Bagai mana orangnya?
Cantik, kurus, gemuk, jerawatan tak, kaya atau punya
kedudukan atau sudah terlanjur tua dan
banyak menjadi beban,
Semua berlomba cari jawaban.
Yaa, itulah nasip para janda,
Selalu dan selalu ditafsirkan beraneka bentuk  dan gaya.
padahal ada janda yang terus berduka,
Sejak ditinggal suami tercinta,
asegala kisah kisah asmara,
Ada janda yang senang bercanda sampai tak ingat dirinya
tua dan bau tanah.
Ada pula janda membuka usaha,
Dari warung pojok sampai konglemerat.
Ada janda jadi pejabat,
Dari mantan menteri sampai mantan camat.
Tapi, tak sedikit janda yang sekarat,
Bertungkus lumus hidup melarat,
Menghidup anak yang tumpat.
Hai, ada lagi janda prodemokrasi dan reformasi,
Berteriak lantang memperjuangkan nasib kaumnya,
Sayang suaranya hilang diredam gambar sudirman.
janda kembang janda idaman,
Janda tua dibuang jangan,
Inilah nasib kaumku,
Selalu dicemeeh dan dianggap remeh.
Wahai para janda,
dengarlah suara nurani,
Jangan pernah gentar, maju terus
jangan pernah kalah, hilang keluah.
Pantang mundur demi anak bangsa,
Walau status janda jadi sebutan,
Tugas mulia ditangan anda,
sebagai pendidik tunas-tunas muda.
Dan masih
ada janda-janda perkasa,
Yang tak takut menentang ombak dan badai,
Yang tak kecut menghadapi fitnah yang menyeringai,
Yang siap membela kaumnya dalam susah dan senang,
Diantaranya itulah AKU.

10 November 2006, jam 12.30 WIB

ANAK PERTAMA


Karya: Drs. Hj. Suryatati A. Manan

Anak pertama dinanti kelahirannya
Dari kecil sudah nampak pintar dan beraninya

Diwaktu SD selalu juara pertama
Di SMP menjadi ketua osis pula
Dikala SMA tak kalah prestasinya

Tiga tahun kuliah langsung berumah tangga
Kuliah terus, suami diurus, adat orang bersuami isteri
Sekali susah sekali senang, sekali benci sekali sayang
Disangka panas sampai kepetang, rupanya hujan di tengah hari

Apa nak dikata, anak juga taruhannya
Sanbil keluah dan mengurus keluarga
hati terpenjara menahan siksa

Tapi, Tuhan tak pernah ingkar janji
Hambanya yang sabar dan  tahan uji
Insya Allah akan mendapat hadiah mendali

Tak terasa waktu berlalu
pendamping benalu akhirnya mati kutu
Keputusan pasti sudah tak goyah lagi
kuliah usai jodoh pun usai

Saatnya membuka lembaran baru, tak usah dikenang masa yang lalu
Masih banyak orang yang manis-manis, jalani hidup dengan optimis

Aku yakin dan percaya, anakku Maya insyaAllah akan berjaya
Karna dia punya sifat istimewa, Tahan banting dalam berbagai cuaca

Salut aku pada anakku
Masih muda usia, sudah lulus ujian kehidupan yang pertama
Hadapi masalah dengan tawakal, resep utama sabar dan tegal
Selamat anakku, dalam dirimu tergambar diriku.



Tanjungpinang 17 Januari 2007, Pukul 06.00 WIB

IBU


Karya: D. Zawawi Imron


Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting
Hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

Bila aku merantau
Sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
Di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutang padamu tak kuasa aku bayar

Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku disini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang mengerti

Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu, yang paling kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku anakmu

Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruh menulis langit biru
Dengan sajakku.

DIALOG BUKIT KAMBOJA


Karya: D. Zawawi Imron


Inilah  ziarah di tengah nisan nisan tengadah
Di bukit serba kamboja matahari dan langit lelah

Seorang nenek, pandangnya tua memuat jarum cemburu
Menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu

“Aku anak almarhum “ , Jawabku dengan suara gelas jatuh
Pipi mkeriput itu menyimpan bekas sayatan waktu

“Lewat berpuluh kemarau telah kuberikan kubur didepan mu
Karena kuanggap kubur anakku”

Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah

“Anakku mati di medan laga, dahulu
Saat Bung Tomo mengippas bendera dengan takbir
Berita ini kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”

Jauh dilembah membias rasa syukur
Pada hijau lading sayur, karena laut bebas debur

“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana kemana
Tak ketemu. Tak ada yang tahu
Sedang aku ingin ziarah menyamaian  terima kasih
Atas gugurnya : mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”

“ Tapi ayahku sepi Pahlawan
Tutur orang terdekat , saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”

“ Apa salahnya kalau sesekali
Kuur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kamboja yang berat gemuruh
Dendamku kepada musuh jadi luruh”

Sore berangkat ke dalam remang
KE kelopak kelelawar

“ Hormatku padamu, nenek ! karena engkau
Menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
Beri aku apa saja kata atau senjata !”

“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku Cuma meminta.
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu

Kelam mendesak kami berkisah. Di hati tidak
Anginpun tiba dari tenggara . Daun-daun dan bunga ilalang
Memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tidak jijik menyeka nanah
Pada anak-anak desa dibawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah malu.

SELAMAT TINGGAL


Karya: Chairil Anwar

Ake berkaca.

Ini muka penuh lika
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
... dalam hatiku?...
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah...?

Segala menebal, segala mengental
Segala takku kenal...!
Selamat tinggal...!

PENERIMAAN


Karya : Chairil Anwar

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

ORANG BERDUA


Karya: Chairil Anwar

kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas.

Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam

"Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?

matamu ungu membatu.

Masih berdekapkah kami atau
mengikut juga bayangan itu?

HAMPA


karya: Chairil Anwar

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak.
Lurus kaku pohon. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti
Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-menncengkung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

AKU


Karya: Chairil Anwar

kalau sampai waktuku
ku mau tak seorang kan merayu
tidak juga kau

tak perlu sedu sedan itu

aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang

biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerjang

luka dan bisa kubawa berlari
berlari
hingga hilang pedih peri

dan aku akan lebih tidak perduli
aku mau hidup seribu tahun lagi

SURAT DARI IBU


Karya: Asrul Sani

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
Pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin guritan
Dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau

Pergi kelaut lepas anakku sayang
Pergi ke alam bebas!
Selama hari belum petang
Dan warna senja belu kemerah-merahan
Menutup pintu waktu lampau

Jika bayang telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarang
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
Dan nahkoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang anakku sayang
Kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
”Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”

ELANG LAUT


Karya : Asrul Sani

Ada elang laut terbang
senja hari
antara jingga dan merah
surya hendak turun,
pergi ke sarangnya.

Apakah ia tahu juga,
bahwa panggilan cinta
tiada ditahan kabut
yang menguap pagi hari ?

bunyinya menguak suram
lambat-lambat
mendekat, ke atas runyam
karang putih,
makin nyata.

Sekali ini jemu dan keringat
tiada kan punya daya
tapi topan tiada mau
dan mengembus ke alam luas.

Jatuh elang laut
ke air biru, tenggelam
dan tiada timbul lagi.


Rumahnya di gunung kelabu
akan terus sunyi,
satu-satu akan jatuh membangkai
ke bumi, bayi-bayi kecil tiada
bersuara.

Hanya anjing,
malam hari meraung menyalak bulan
yang melengkung sunyi.
Suaranya melandai
turun ke pantai
Jika segala senyap pula,
berkata pemukat tua :
“Anjing meratapi orang mati !”

Elang laut telah
hilang ke lunas kelam
topan tiada bertanya
hendak ke mana dia.
Dan makhluk kecil
yang membangkai di bawah
pohon eru, tiada pula akan
berkata :
“Ibu kami tiada pulang.”

PADAMU JUA


Karya: Amir Hamzah

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Punya rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menusuk ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu – bukan giliranku
Matahari – bukan kawanku

DOA


Karya : Amir Hamzah

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi,
Pada masa purnama meningkat naik,
Setelah menghalaukan panas terik.
Angin malam menghembus lemah,
Menyejuk badan, melambung rasa menanyang pikir,
Membawa angan ke bawah kursimu
Hatiku terang menerima katamu,
Bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu,
Bagai sedap-malam menyirak kelopak.
Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku
Dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu,
Biar berbinar gelakku rayu!

SEMBAHYANG RUMPUTAN


Karya: Ahmadun Yosi Herfanda


aku rumputan
tak pernah lupa sembahyang
:inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi rabbil ‘alamin

topan melanda padang ilalang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
dan akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi


terbanglah aku
akan segera tumbuh sebagai rumput baru
bakarlah daun-daunku
aku bertunas melebihi dulu

aku rumputan
kekasih Tuhan
di kota-kota disisihkan
alam memeliharaku subur di hutan
aku rumputan
tak lupa sembahyang
:inna shalaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi rabbil ‘alamin

pada kambing dan kerbau
daun-daun hijau kuberikan
pada bumi akar-akar kupertahankan
agar tidak kehilangan akar keberadaan
di bumi terendah aku berada
tapi zikirku menggema
di langit dan cakrawala
: la ilaaha illalah
muhammadar rasululah

aku rumputan
kekasih Tuhan
segala gerakku
adalah sembahyang

NYANYIAN KEMERDEKAAN


Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
di antara pahit-manisnya isi dunia
akankah kaubiarkan aku duduk berduka
memandang saudaraku, bunda tercintaku
dipasung orang asing itu?
mulutnya yang kelu
tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad kau terlelap
Bagai laut kau kehilangan ombak
Burung-burung yang semula
Bebas dihutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Tak bebas mengucapkan kicaunya

Hanya kau yang ku pilih
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang ku pilih
Diantara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad
Memujamu dingerinya
Namun di negriku
Mereka berikan belengu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantara
Bangkitlah semua dada yang terluka

-Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman tangan itu atas namaku
Kekuatan yang memancar dari genggaman itu –
Suaramu sayup diudara
Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kurterjang pintu-pintu terkunci itu
Dan mendobraknya atas namamu

Terlalu pengap
Udara yang tak tertiup
Dari rahimmu
Jantungku hamper tumpas
Karena racunnya
( matahari yang kita tunggu
Akhirnya bersinar juga
Di langit kita )

TEMPURUNG TIDURKAN SABUT


Karya: Indra

Ku jengkal tanganku
sejauh itu yang ku bise

bunyian tempurong
ketok. ketok. ketok.

mak menyenyikan
dendang kuno

buai-buai anakku buai
tidolah jangan menangis
buai-buai anakku buai
tidolah jangan menangis

pejam mate diatas buai
buai berayon kadang dienjot

tidolah anakku
tido di atas buai

tempurong senyap
sabot bekerje

anak pon tetido pulas
sang mak
dapat mengerjekan pekerjean rumah
ketike anak tido lelap

anak menangis lagi
huuuuu
Haa haa

huuuuuu
Haa haa

huuuuuuu
Haa haa
menjinakan anak di dalam buai.



TIDAK MESTINYA MENYALAHKAN TEMAN


Karya: Indra

Teman...
Maaf sebelumnya.
Aku tak nyaman.
Aku bertanya?
   
    Aku termenung, aku canggung,
    Aku sama halnya dengan manusia pekung.
    Aku gelisah, aku resah,
    Aku seperti kumukan sampah.

Terserah kau nak bilang apa.
Aku bener-benar tidak menyenggupinya.
Aku sehat, aku tidak sanggup?
Aku lelaki, aku tidak sanggup?

Manusia macam apa aku ini.
Tanda titik sekecil pun memiliki makna di lingkungan bahari.
Aku bisa kalah dengan noda hitam yang tidak bernyawa ini.
Apa kau sanggup di posisi manusiawi.

Uang tidak ada.
Keluarga berantakan tiada jeda.
Semalam diputusakan sama pacar yang aku cinta sepanjang masa.
Utang banyak di sekeliling tetangga.
Pekerjaan tidak ada.
Aku jarang menatap do'a.

Kekesalan datang pasti terakhir dalam lakon sandiwara kehidupan.
Apa kau mampu menjadi aku?
Yang hanya keterlambatan mengumpulkan kertas kecil.
Satu kelas, satu semester alpa studi.

Ehm...
Terima kasih teman.
telah menambah kegelisahan.

KampungBugis, 14 Febuari 2012

RAGU

Karya: Indra

Janganlah Benci.
kalau masih sayang diriku.
jangan marah.
kalau masih ingin bertemu.
lihat disini.
tataplah mataku.
ada di sana namamu.
kalau memang kau tak sudi.
katakan saja.
aku pun mengerti semua ini.
biarlah aku begini.
jangan perduli.
satu yang ku pinta.
jangan kau menangis.

PENYESALAN


Karya: Indra
Kampungbugis, 10 April 2012

Angin menembus belia.
Rambut di atas kepala.
Kacamata di depan mata.
Emas tersampul tembaga.

di sana dia bertahta,
termenung kata-kata lama.
pusing kepala memikirkannya.

mak..., abah...
aku cerna kata-kata lamamu.
karna kau telah mendahuluiku.
anakmu yang berdosa ini
kamarin sore
acuh tak acuh.
sekarang baru bermakna apa kata-kata kunomu.

PACAR MANTAN PACARKU


Karya: Indra, pada 1 Januari 2012 pukul 18:09

Kau telah berjanji
Takan ingkari kasih
Ku duduk sendiri
Menanti kau yang telah pergi

 Kau dan dia bersama
 Menjalin yang tak biasa
 Ku kan selalu setia
 Berharap kau kan berubah

   Takku sangka
        Takku duka
kau tega mendua
ketika disaat jauh.


   Pacar mantan pacarku
        itulah dirimu

ketika kau hianati aku.

KU TUNJUkKAN JARIKU


Karya: Indra, pada 10 Januari 2012 pukul 14:44

Ku tunjujukkan telunjukku.
jangan berpikir kalau aku akan mencarinya.
tapi ku tunjukkan bahwa dia ada.
jangan sampai kau bertanya Dia di mana?

Ku tunjukkan telunjukku.
ku eja ayat-ayatMu
Bismillah.......

Ku tunjukkan telunjukku.
apa yang muhammad berikan kepada kau?
carilah dan terus cari

Ku tunjukkan telunjukku.
aku takut melotot mata rahimku.
durhaka.
aku mati takkan ditelan bumi.

Ku tunjukkan telunjukku.
membanting tulang.
keringat jagung.

Ku tunjukkan telunjukku.
kau luruskan jalanku.

Ku tunjukkan telunjukku.
kau obatkan sakitku.

Ku tunjukkan telunjukku.
kau membantu perasaanku.

Ku tunjukkan telunjukku.
aku tidak cinta negeri ini, tapi aku bangga menjadi anak negeri.

Ku tunjukkan telunjukku.
aku mampu.
aku bisa.

Ku turunkan telunjukku.
ku naikkan jempolku.
mantab.
terimakasih semua.

KATA YANGKU TAKUT


Karya: Indra, pada 14 Januari 2012 pukul 18:51


aku dengar hamba tuhan memanggil teman-teman untuk menyembah maha pencipta.
termasuk juga aku.

aku tau.
selama ini aku berdosa.

aku dimiliki oleh pencipta.

aku tau.
kenapa aku kini renggang kepadaNya.

aku tau.
semua langkah-langkah kehidupanku dibacaNya.

Dia paham.
Dia maha pencipta.

aku ciptaanNya.
mengapa aku mengabaikanNya.

aku tak pernah berpikir.
hari kelak.
Dia maha membalas.

apa yang aku buat dan apa yang aku ancurkan.
Dia tau.

bismillah...
bismillah...
bismillah...

sepenggal ayat yang ku lanturi.
ku cernakan.
ku arungi.

hahahahahahahahaha.
ternyata sebuah kata-kata.


DIAM.


aku
takut.
ternya kata-kata itu sejuta makna.
bismillah.

GELAS


karya: Indra

Aku tampung kepercayaanmu,
aku tadah harapanmu,
apa yang kau berikan padaku dan apa yang kau serahkan untukku.
Racun pun yang kau berikan,
kurasakan air gula yang di dalam gelas.
Kekosongan yang sempurna kau berikan,
ku rasakan beribu makna yang ku dapat darimu.


KampungBugis, 8 maret 2012

CANANG


Karya: Indra, pada 9 Januari 2012 pukul 19:58

Diye dinamekan Canang.
kayu panjang berdampingan kayu yang pendek.
panjang dipegang pendek ditarok di atas tanah.

ku usit tangan dengan teman-teman
dibagi menjadi duwe kelompok.
ku usit lagi siape yang main duluwan dan siape yang jage.

maen dimulai.
congkelkan anak Canang.
lambongkan sekuat-kuatnye.
jangan sampai tersambot.
kalaulah tersambot diye kan jage.
kelompok yang jage mulai bermaen.

siape yang menang dapat didukong
sejaoh Canang dilempar-lempar.

MALA KAMA


Karya: Indra

Pagi
Kerumah siti
Tak mandi
Suasana di siang hari
Dalam bulan febuari
Datang hanya sendiri
Waktu itu lagi susah hati
Rasa hidup tak berarti
ingin rasanya aku lari
tapi
enggan untuk melangkahkan kaki
seakan-akan aku tidak memiliki ilahi
aku lelah seperti ini
apa aku ada kesempatan lagi
untuk memaafkan dia terakhir kali
untuk bersamanya sehidup semati
aku tatap mat siti
hilang akal menusuk birahi
aku termenung dudk sendiri
aku tak mau makan hati
karena di dalam hati
ini
ada yang aku cintai
ya itu kedua orang tuaku dan siti
aku ingin hidup beberapa tahun lagi


TAKKAN KEMBALI


Karya: Indra, pada 2 Januari 2012 pukul 20:58

Mata ini tidak mampu untuk menampung air mata.
kegelisahan yang menerpa terlalu banyak dimakan usia.
Aku lupa adanya umur semakin tua.

semut berjalan mengelilingi kota.
Setiap sudut aku menjuumpainya.
Seolah-olah dia hidup ribuan tahun menyimpan rasa.

Semut.
Aku melihat kemarin engkau mati.
Tapi aku lihat engkau tadi berjalan dengan kaki yang sama.
wajah yang sama.
bentuk tubuh yang sama.

Tuhan maha adil.
Suatu saat kami akan dipertemukan kembali di dunia yang pantas.
surga.
amin.

REDUP SUBUH

Karya: Indra

Di kasur kurebahkan tubuhku yang letih.
suasana malam yang sunyi membuatku takut untuk memejamkan mata.
suara hujan rintik-rintik membuat perasaan ini semakin menjadi.

detak jantung semakin kuat.
kenapakah perasaan ini.

aku mulai bisa tidur.
Kaki gunung terselimut kedinginan.
Ujan deras menggeluyuri dedaunan.
Suara ayam jago tidak kedengaran waktu itu.
Jarum jam menunjukan 05:05.

Kakiku dingin seolah-olah menyuruh tanganku.
menyelimuti tubuh yang ampir kaku.
ternyiang-nyiang di telinga mendengar azan subuh berkumandang.
maafkan aku tuhan aku melewatinya.


Senggarang, 4 April 2012

PULAU BINTAN


Karya: Indra

Pulau bintan indah menawan.
Masyarakatnye sangat darmawan
Hiruk pikuk di tengat kote.
Desa aman sejah tere.

Pulau penyengat melintang.
Manyaknye makam pahlawan.
Dulunye membele pulau Bintan.
Raja Ali Haji Menciptakan seri gurindam.

Tuwe mude hendaklah bersame.
Tak membede suku bahase.
Ajaran agame tetap ade.
Untok negeri kite.

Andai kate tak beragame.
Untok ape mimpikan surge.
Andai kate tak bersame.
Hancur robohnegeri kite.

PASAR


Karya: Indra

udang, udang, udang
jamu-jamu
xie-xie
ojek-ojek
terkadang kelakson motor memekikkan telinga.

suara yang didengar bermacam-macam.
watak.
karakter.
sifat.
yang ada diwaktu itu.
Matahari masih condong di sebelah timur.
muka kusam.
sebagian ada yang melempar senyuman.

motor tidak beraturan diam di tepi jalan.

ojek satu!
ayam berapa sekilo?
Kue satu berapa?

sudah, yuk!
ku terima kantong belanjaan.
ku enkol motorku.

LAPA MAK


Karya: Indra, pada 15 Januari 2012 pukul 17:39

puco' ubi.
santan rebong.

maaaaaaa'
aku lapa.

MERONTA-RONTA.

petek ubi, siang rebong.
belah niyo...

gileng bumbu.

SENYAP

KETAKUTAN

Karya: Indra

Gelas itu berbunyi
hari masih jam 20.25
terhenti dalam percakapan
diam.

kuceritakan.
mata enggan untuk memejamkan.
ayam berkoko

JAM YANG MANA?

Karya: Indra

jamrud
jamhari
jamak
jamsostek
jampi
jambu
jambang
jam tangan
jam dinding
jam karet
jam 01:00 WIB, dan seterusnya.
buka itu maksudku

Menurut perdapat
JAM : Jari Anak Manusia
JAM : Jateng Anak Motor
JAM : Jarak Antara Mahluk
JAM : Jaringan Akan Meluas
JAM : Jari-jari Akun Matematika
JAM : Jarapa Anima Monster
JAM : Jeritan Anak Madura
JAM : Jentik Amat Meluas
JAM : Janda Anak Muda

JAM
"JARI AKU MENUNJUKMU".
ini yang dimaksud
tidak bermaksud apa-apa
hanya ingin menunjuk
apa yang aku bisa
apa yang aku mampu
aku bukan seorang pemimpin
tapi merekalah yang memilih aku

akan ku tunjukan
yang mana yang lurus
yang mana yang baik
yang mana yang kutunjukkan.

DALAM

Karya: Indra

Hujan dalam kedinginan.
panas dalam kegerahan
gugur dalam berjatuhan.
salju dalam kebejuan.
semi dalam pertumbuhan.


iblis dalam neraka.
iblis dalam kehancuran.
iblis dalam keborosan.
iblis dalam kemunafikan.
iblis dalam kemalasan.
iblis dalam kekacawan.
iblis dalam kebohongan.
iblis dalam kebiadapan.
iblis dalam diri manusia.
iblis ada di mana-mana.

malaikat dalam surga.
malaikat dalam kebahadian.
malaikat dalam kebenaran.
malaikat dalam kedamaian.
malaikat dalam kecintaan.
malaikat dalam keadilan.
malaikat dalam keindahan.
malaikat dalam kerukunan.
malaikat dalam diri manusia.
malaikat ada di aman-mana.

terserah mau pilih yang mana.
dalam...
dalam...
dalam segalanya.


KampungBugis, 4 April 2012

BERHENTI

Karya: Indra,pada 2 Jan 2012 pukul 13:38 •

Bosku marah.
Aku mengirimkan pesan singkat pagi itu.
"Aku berhenti kerja"
Tiga puluh lima ribu rupiah perhari menjadi tiga puluh ribu rupiah perhari.
Ditambah Bos marah-marah yang tek jelas.
Lalu aku matikan ponselku.
Bosku menghubungi temanku satu kerja.

   Semalaman aku enggan untuk tidur.
   Sekilas pikiranku melintas.
   Aku kangen ingin dipeluk dan mencium,
   keluargaku, teman-temanku dan pacarku.
Aku mengirim pesan singkat untuk pacarku.
pukul 03.08 WIB
"in moga kau bangun. Kamu langsung baca SMS ne. Kamu mungkin saya ini tidak sempurna. Mungkin juga aku ini tak bisa menjadi seorang pacar. Tapi saya pengen, saya ini menjadi pendamping hidupmu yang baik untukmu. Malam ini aku tidak bisa tidur. Memikirkan saya sudah berhenti kerja. Pastinya saya cari kerja baru. Saya takut tak bisa ada waktu buat kamu. Takut. Kamu simpan sms ini. Kalau kita kelahi baca aja.

menangis.
   diam.
        tertawa

ANGIN

Karya: Indra

Suuuuuuuuu
Dedaun melambai-lambai
kenapa si dia

sapa yang tau, dia bukan.
angin aang
angin abang
angin akeng
angin akualung
angin alang
angin aliang
angin along
angin ambung
angin aming
angin ampang
angin ancang-ancang
angin andang
angin andang-andang
angin andeng-andeng
angin angklung
angin angkong
angin anjang
angin anjing
angin anjung
angin aping
angin arang
angin aring
angin asing
angin asong
angin ateng
angin awang

      sapa yang tau, dia bukan.
    angin baijing
    angin balang
    angin baling
    angin bambang
     angin bandung
    angin batang
    angin binatang
    angin bingung
    angin bintang
    angin bising
    angin buang
    angin bujang
    angin bulang
    angin bumbung
    angin buntang
    angin belakang
    angin belalang
    angin benang
    angin bengong
    angin bentang
    angin benteng
    angin beralang
    angin berang-berang
      angin berlangsung
    angin bohong
      angin borang
     
             sapa yang tau, dia bukan.
        angin cabang
        angin caling
        angin canang
        angin cancang
        angin cangkung
        angin cincang
        angin cucong
        angin curang
        angin ceking
             angin cekung
        angin cengeng
        angin congkong
        
sapa yang tau, dia bukan.
angin dalang
angin datang
angin dinding
angin dukong
angin dukung
angin dendang
angin dongeng
    sapa yang tau, dia bukan.
    angin eang
     angin elang
    angin embacang
    angin empang
    angin endang
    angin eng

            sapa yang tau, dia bukan.
        angin fasing
            angin filing
   
sapa yang tau, dia bukan.
angin gang
angin gang-gang
angin ganteng
angin garang
angin gilang
angin girang
angin gulung
angin guncang
angin gunung
angin gelang
angin gelembung
angin geleng-geleng
angin gelombang
angin gembung
angin gendang
angin gendong
angin geng
angin genteng
angin gerbang
angin gersang
angin genteng
angin gong-gong
angin goyang
    sapa yang tau, dia bukan.
    angin halang
    angin hidang
    angin hidung
    angin hilang
     angin hitung
    angin hening
    angin hongkong
   
        sapa yang tau, dia bukan.
        angin iang
        angin ingsang

sapa yang tau, dia bukan.
angin jalang
angin jambang
angin jarang
angin julang
angin junjung
angin jurang
angin jelang
angin jelangkong
angin jeng
angin jenjang
angin jenong
angin jerang
angin jongang
angin jongkong

    sapa yang tau, dia bukan.
    angin kadang-kadang
    angin kancing
    angin kandang
    angin kang
    angin kang-kang
    angin kantong
    angin kambing
    angin kaleng
    angin kalung
    angin karang
    angin kiambang
    angin kilang
    angin king
    angin king kong
    angin kucing
    angin kumbang
    angin kuning
    angin kurang
    angin kutang
    angin kedong-dong
    angin kekang
    angin kelengkeng
    angin keliling
    angin kelong
    angin kembang
    angin kencang
    angin kencing
    angin kening
    angin kentang
    angin keong
    angin kepompong
    angin kereng
    angin kolong
    angin kosong

        sapa yang tau, dia bukan.
        angin lajang
        angin lalang
        angin lambang
        angin lambung
        angin lampung
        angin lancang
        angin langit
        angin langsing
        angin langsung
        angin lang-lang
        angin larang
        angin lindung
        angin linglung
        angin lubang
        angin lekung
        angin lelang
        angin lengkung
        angin lentang
        angin lesung
        angin lonjong
        angin lontong
        angin lorong
       
sapa yang tau, dia bukan.
angin mading
angin madong
angin mak' jang
angin mak' yong
angin malang
angin maling
angin mamang
angin mambang
angin mancing
angin mancung
angin mang
angin mantang
angin manurung
angin matang
angin miang
angin minang
angin mulung
angin melambung
angin melayang
angin memang
angin membangkang
angin memusing
angin mendung
angin menerjang
angin mengalang
angin mengamang
angin mengarang
angin mengembang
angin menghalang
angin meradang
angin momong
angin moncong
angin moyang

    sapa yang tau, dia bukan.
    angin nabung
    angin nanang

    angin nuding
    angin numbang
    angin nungging
    angin nungsang
    angin nunung
    angin ngarang
    angin ngkong

        sapa yang tau, dia bukan.
        angin omang-omang
        angin ompong
        angin oneng-oneng
        angin orang

sapa yang tau, dia bukan.
angin palang
angin paling
angin palung
angin pantang
angin pank
angin pancung
angin patung
angin palembang
angin pancong
angin payung

angin pinang
angin pinggang
angin ping
angin piring
angin pimpong
angin pisang
angin pulang
angin pulang
angin puing-puing
angin pusing
angin penerang
angin pelang
angin peking
angin pekong
angin perang
angin pesing
angin pemulung
angin pembangkang
angin potong
angin pocong
angin polong   
    sapa yang tau, dia bukan.
    angin q

        sapa yang tau, dia bukan.
        angin radang
        angin rantang
        angin ranjang
        angin ring
        angin riang
        angin ruang
        angin renggang
        angin rebung
        angin rengking
        angin rendang
        angin rentang
        angin rembang
       
sapa yang tau, dia bukan.
angin samping
angin sai jang
angin samsing
angin sarung
angin sandang
angin sangking
angin sambung
angin sidang
angin siang
angin suling
angin sumbang
angin sumbing
angin seludang
angin seng
angin sekarang
angin serang
angin senang
angin sembarang
angin seimbang
angin semoking
angin sembahyang
angin selang
angin seludang
angin sembilang
angin sombong

    sapa yang tau, dia bukan.
    angin tang
    angin tanjung
    angin tantang
    angin tambang
    angin tilang
    angin tinting
    angin tulang
    angin tukang
    angin tumbang
    angin tebang
    angin tentang
    angin tepung
    angin terapung
    angin tekong
    angin tembeleng
    angin terowong
    angin terambang-ambang
    angin tekepung
    angin teripang
    angin telolong
    angin tejungkang
    angin telanjang
    angin tenang
    angin terang
    angin terung
    angin teringgileng
    angin topeng
    angin tong
    angin tolong
   
        sapa yang tau, dia bukan.
        angin udang
        angin ujung
        angin undang
        angin untung
        angin umang-umang
        angin utang
        angin ulang

sapa yang tau, dia bukan.
angin v
    sapa yang tau, dia bukan.
    angin wayang

        sapa yang tau, dia bukan.
        angin x

sapa yang tau, dia bukan.
angin yang

    sapa yang tau, dia bukan.
    angin zing
        angin
        angin
        angin
        angin
        angin
        angin
        angin

siapa tau dia?
dia ciptaan tuhan.