Rabu, 25 April 2012

Kritik Sosial Masyarakat tarhadap kepribadian sastrawan Tanjungpiang



Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai control terhadap jalannya suatu system sosial atau proses bermasyarakat. Menurut Marbun, kritik sosial merupakan frase yang terdiri dari dua kata yaitu kritik dan sosial masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan kritik adalah suatu tanggapan atau kecaman yang kadang-kadang disertai dengan uraian dan pertimbangan baik maupun buruknya suatu hasil karya, pendapat, dsb (1996:359). Sementara di sisi lain, Webster menjelaskan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Latin criticus atau bahasa Yunani kritikos yang berarti a judge atau dari kata kinnea yang berarti to judge (1983:432).Sementara itu sosial memiliki pengertian having to do with human beings living together as a group in a situation that they have dealing with another (Webster, 1983:1723).
Berdasarkan definisi dari dua kata tersebut, Astrid Susanto seperti yang dikutip oleh Mafud (1997:47) mengambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kritik sosial masyarakat adalah suatu aktifitas yang berhubungan dengan penilaian (juggling), perbandingan (comparing), dan pengungkapan (revealing) mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman. Kritik sosialmasyarakat  juga dapat diartikan dengan penilaian atau pengkajian keadaan masyarakat pada suatu saat (Mahfud, 1957:5). Dengan kata lain dapat dikatakan, kritik sosial masyarakat sebagai tindakan adalah membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat. Adapun tindakan mengkritik dapat dilakukan oleh siapapun termasuk sastrawan dan kritik sosial masyarakat merupakan suatu variable penting dalam memelihara system sosial yang ada.

Nilai-nilai Kritik Sosial dalam Sastra





SASTRA merupakan salah satu cara mengungkapkan ekpresi jiwa, perasaan, pikiran di tengah suasana yang hidup, bukan ruang kosong. Sastra bukan hanya mencitrakan nilai estetis, tetapi memiliki nilai pesan moral yang dalam, mengena dan lugas.Tak hanya itu, sastra dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial, kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman.
Relasi sastra dengan keadaan masyarakat merupakan hubungan dialektis, yang saling mempengaruhi perkembangannya.Posisi sastra harus menempatkan tema pesan sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat.
Dalam sastra mengandung dimensi makna yang sangat luas, tergantung pelakunya. Seperti sastrawan atau budayawan Erizal Norman, sapaan akrab Erizal tempoyak, apa yang dikaryakan memantik pesan sosial dan religius. Sumber inspirasinya adalah bermula dari sikap, ide dan pandangan dia terhadap realitas yang mengitarinya.
Jabrohim, seorang sastrawan “akademis” menyatakan bahwa sebuah hasil karya sastra yang genuin (asli) adalah karya yang memiliki hubungan timbal balik antara sastrawan melalui karya sastranya dengan masyarakat.
Memang suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa seorang penyair senantiasa dipengaruhi oleh ruang dan waktu.Setiap penyair pasti tidak hidup dalam ruang yang hampa, tetapi dinamis dan kompleks.Sehingga hasil sebuah sastra bukanlah berdiri sendiri (otonom), melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan.
Untuk menyelami siratan makna sastra, kata Jabrohim, dapat melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan sosiologis dan religius.Dengan pendekatan sosiologis, maka akumulai dari konteks sosial sastrawan, cermin masyarakat dan fungsi sosialnya dapat terbaca secara komprehensif. Sedangkan dengan pendekatan religius, maka nilai-nilai sastra terlihat menyiratkan inti (core) kualitas hidup manusia, dan harus dimaknakan sebagai rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama dengan sesuatu yang abstrak (Tuhan).
Kalau kita mau baca kumpulan puisi-puisi yang ditulis oleh Erizal Norman, misalnya, kita akan mendapatkan siratan makna yang bersifat sosio-religius. Siratan makna puisi tersebut berupa ekspresi dari kegelisahan, penderitaan, dan keprihatinan seorang penyair yang melihat berbagai ketimpangan sosial yang melingkupinya.
Selain itu, puisi semacam itu juga menampilkan kegelisahan religius penyairnya sebagai akibat interaksi sosial dan kerinduan kepada Tuhan serta sikap-sikap religius yang lain.
Lahirnya sebuah sastra tentu berangkat dari alam pikir yang cerdas dan hati yang lembut.Sebab sastra mencerdaskan merupakan sarat dengan nilai-nilai yang dihayati penyair atau sastrawan serta keyakinannya yang melandasi pikiran terhadap lingkungannya, hidup dan kehidupannya.Semua pengalaman menjadi ide karya untuk dikembangkan melalui kemampuan imajinasi, dengan pendalaman masalah, lewat wawasan pemikiran dan sebagainya, sehingga melahirkan suatu karya yang benar-benar utuh dan bulat.
Sastra yang mencerdaskan harus mengungkap segi-segi sosial yang bersifat etis, terapis, konseptualis, dan kritis yang memihak pada golongan yang lemah. Dengan demikian, sastra yang bernilai tinggi adalah cermin dari kultur masyarakat, bahkan bagian dari karakter masyarakat itu sendiri.



Pengaruh Sosial masyarakat terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan adat istiadat
Tokoh masyarakat.Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang memiliki pengaruh pada masyarakat.Tokoh masyarakat ada yang bersifat formal dan informal.Tokoh yang bersifat formal adalah yang diangkat dan dipilih oleh lembaga negara dan bersifat struktural.Contohnya : camat, lurah atau anggota dewan perwakilan rakyat. Tokoh masyarakat yang bersifat informal adalah tokoh yang diakui oleh masyarakat karena orang tersebut dipandang pantas menjadi pemimpin dan panutan yang disegani.Misalnya tokoh agama, ulama, pendeta, biksu, dan kiai. Pengendalian sosial yang dilakukan tokoh agama terutama ditujukan untuk perilaku menyimpang dari sudut nilai dan norma agama. Umumnya menggunakan pengendalian sosial dilakukan dengan cara persuasif. Pada peristiwa tertentu kekuatan pengendalian sosial tokoh masyarakat dapat lebih kuat dari pengendalian sosial lainnya.

Adat Lembaga adat merupakan pengendalian sosial pada masyarakat tradisional.Adat berisi nilai-nilai, norma-norma yang dipahami, diakui dan dipelihara terus menerus oleh masyarakat dimana adat tersebut berada.Lembaga adat mengatur perilaku anggota masyarakat agar tidak melakukan perilaku menyimpang. Pelaku penyimpangan sosial akan dihukum seperti: ditegur, dikenakan denda atau sanksi, dikucilkan atau diusir dari lingkungan masyarakatnya. Pihak yang berperan dalam pengendalian ini adalah ketua adat.Berbeda dengan kepolisian dan pengadilan, lembaga pengendalian sosial adat bersifat setempat berlaku untuk warga masyarakat dimana adat tersebut hidup.Sebelum masyarakat mengenal lembaga pengendalian sosial kepolisian dan pengadilan, lembaga pengendalian sosial adat sudah terlebih dahulu ada untuk mengendalikan perilaku anggota masyarakatnya. Walaupun tidak bersifat formal, lembaga pengendalian ini lebih kuat mengikat masyarakat karena sudah mendarah daging melalui proses sosialisasi.

Seorang sastrawan Tanjungpinang dalam kehidupan sosial masyarakat
Erizal Norman
Erizal Norman lahir di Tanjungpinangtanggal 9 September 1964, seorangpenyair yang multi talenta terutamadalam mengumpat dan menyusun kata menjadi lirik-lirik yang kuat, menjadi bait-bait yang sedap dibaca, mengalir bagaikan air, bergelombang ketika riaknya mencium bibir pantai.
Eri yang akrab disapa oleh rekan-rekan seniman,  tapi lebih suka dipanggil dengan sebutan “Eri Tempoyak atau Erizal Sang Lanon Kata” adalah  keponakan dari budayawan, sastrawan, dramawan besar Riau Idroes Tin Tin penerima anugerah Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah Republik Indonesia yang diserahkan langsung oleh Presiden RI  yang merupakan anugerah tertinggi bidang kebudayaan.Teater adalah bidang kesenian yang ia geluti bersama pamannya  Idroes Tin Tin, Dasri Al-Mubary dan Tusiran Suseno, yang mana ketiga dramawan tangguh ini telah dipanggil Oleh Tuhan Yang Maha Esa, jika penulis mengatakan bahwa Erizal Norman adalah sebagai pewaris keilmuannya tentulah tidak berlebihan.Tersebab Laut Kata ( 2009) bersama M Chandra dan Heru Untung Leksono, aktif bergiat dalam Pelantar sastra Tanjungpinang yang diawali dari sebuah rajukannya dalam berkesenian pada tahun 2007 dengan menjadi sopir angkutan kota, berkesenian hanya dalam hati sambil meratap kepedihan seiring berputarnya roda, kemudian tepat pada tahun 2008 ia mendirikan sanggar Bengkel Teater Zaman.Sosok Erizal Norman adalah lelaki yang tangguh yang multi talenta, dari mulutnya mengalir kata-kata pedas dalam mengumpat yang menjadi lucu ketika ia bercerita tanpa titik dan koma, Ia mampu menjadi sutradara yang baik dalam sebuah pementasan teater, baik diatas pentas maupun diluar pentas. Sebagai penyair karya-karyanya bernas dalam memilih kata dan sebagai cerpenis Ia adalah lelaki yang romantis ini jelas tergambar dari beberapa cerpennya yang mampu membuat para remaja berbunga-bunga jika membacanya.
Sang penyair pengate Erizal Norman adalah penyair yang berbakat yang ingin mengawinkan penghayatan  peristiwa tanpa pernah mempergunakan terminologi teori puisi yang penting ia mampu memilih kata yang terpilih menjadi sajak yang mudah di interprestasikan oleh pembaca, sebagaimana ia sedang memperdalam ilmu barunya sebagai kameraman untuk sebuah penggambaran video atau film documenter.Begitulah, Erizal Norman penyair pengate dengan berbagai talenta, mencari insiprasi tak pernah berhenti, yang setiap kemunculannya seringkali tak kehilangan kata, berani mendedahkan sesuatu, jujur mengakui kesalahan sedikit ungkal menerima nasihat, manusia konvensional kataku.
Banyak membaca banyak ilmu, banyak bekerja banyak rezeki, banyak bergelut ke pemerintah manjadi merintah, banyak bergelut ke sastra menjadi seniman. Ini lah salah satu sosok seniman yang ada di Tanjungpinang. Bergelut dibidang Sastra banyak sekali rintangan dan cobaan. Dalam sosial masyarakat manjadi supir angkot bertahun-tahun, menjual kulkas untuk membawa rombongan sanggar. Apakah setiap seniman pengerbanannya seperti itu?, bagai mana tanggapan pemerintah?, tidak butuh pertanyaan banyak- banyak. Memang betul penyair kaya dengan kata-kata, raja dalam kata, dan penguasa dalam mengolah kata-kata menjadi indah.
            Memang banyak kita jumpai sastrawan- sastrawan dalam di kalangan sosial masyarakat yang kaya dengan kata- kata, raja dalam kata. Namun tetapi tidak banyak kita jumpai gara-gara sastrawan seseorang menjadi jutawan. Di sisi lain setiap manusia itu ada kelebihan dan ada kekurangan, ada kaya ada miskin, ada malam ada siang, ada hidup pasti ada yang mati. Begitu juga sengan profesi sesorang, kadang kala naik jabatan bisa saja turun jabatan. Hidup ini seperti roda. Jadi, menurut saya miskin atau pun kaya seseorang seniman itulah terletak keindahan suatu propesi seseorang sastrawan, seniman tidak butuh kaya tapi butuh berkarya. Seniman harus mampu mengapresiasikan karya- karyanya dikalangan masyarakat.

NAMA INDRA B. 1
MATA KULIAH SANGGAR SASTRA
DOSEN PEMBIMBING Drs. Suhardi, M. Pd

Novel “Laksamana Jangoi” Novel yang menggeli perut dan Kacak



Banyak sekali kita jumpai Novel- novel di indonesia kehususnya di Kepulauan  Riau benyak sekali Novel- novel bermacam judul yang kita jumpai. Salah satunya Novel “Laksamana jangoi” yang ditulis oleh seseorang Mahasiswa Universitas Maritim Raja Ali Haji, Program Studi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dari Tanjungpinang, Roni.
Sosok Si pengarang Novel “Laksmana Jangoi” ini anak keenam dari enam bersaudara pasangan Saharman dan Rafi’ah bernama lengkap Muharroni. Lahir di Tanjungpinang 31 Oktober 1981 sudah terhitung lama mengaktifkan diri dalam dunia seni dan budaya, kehususnya seni dan budaya negeri.
Selain aktif dalam bidang seni dan budaya, beliau juga  seorang Mahasiswa FKIP UMRAH dan sekarang seorang dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji program studi Pendidikan bahasa Indonesia ini juga aktif di beberapa organisasi kepemudaan di Negri Pantun. Berbagai prestasi sudah diraihnya mulai dari tingkat kelurahan hingga tingkat Internasional salah satunya mendapatkan rekor muri berbalas pantun terlama di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dalam bidang menulis ini merupakan karya pertama dan besar harapan kami akan muncul kerya lainnya.
            Novel diterbitkan pertama kali oleh UMRAH PRESS ini pada bulan Febuari Tahun lalu mendapat tanggapan yang baik oleh kalangan pembaca seperti, Dr. Suhajar Diantoro, Ketua Yayasan Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau mengatakan“walaupun fiksi, namun ada yang sangat mendekati realita kehudupan masyarakat kita dewasa ini, Sindirannya tajam namun halus dan lembut untuk dicerna, sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh khalayak ramai”. Sedangkan Prof. Dr. Maswardi M. Amin, M. Pd, Rektorat Universitas Maritim Raja Ali haji ini mengatakan Novel ini, ”Sungguh menarik, setting cerita masa kini yang bertaut erat dengan masa lalu menjadikan ia punya kekhasan tersendiri, dan novel ini menjadi bukti bahwa kreativitas orang-orang muda itu tiada batasnya”. Lain pula menurut Drs. H. Daeng Ayub Natuna, M. Pd, Pembantu Rektor III UMRAH, ”Membaca Kisah Laksmana Jangoi karya Muharroni ini kita seperti terbawa hanyut ke masa lampau dengan dunia lanun-lanun, dan ke masa kini dengan korupsi. Ceritanya kocak, penuh sindiran, serta penyadaran diri”. Menurut Abdul Malik, M. Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UMRAH, ini Mengatakan “ Karya yang ditulis oleh seorang budak melayu yang lunak dalam dunia sastra ini mampu memadukan kisah cinta, sindiran satir, terhadap realita, dan komedi dalam satu ramuan yang sungguh menarik untuk dibaca, syabas!”. Dan menurut Kurniawan seorang mahasiswa yang berjabat sebagai Sekretaris Umum HimaProdi Bahasa Indonesia FKIP UMRAH tentang novel Laksmana Jangoi ini mengatakan “Sebuah karya yang menjadi pelecut semangat kami para Junior untuk berpacu menghasilkan karya sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan bahasa Indonesia FKIP UMRAH”.
            Ada beberapa yang perlu kita ketahui pada novel Laksmana Jangoi ini. Yang pertama Kelebihan novel ini warna sampul yang khas membuat kehalayak nyaman untuk memilikinya. Yang kedua, adalah kita melihat gambar sampul buku, melihat sosok seseorang yang lagi berdiri samar- samar jadi si pembaca penasaran siapakah seseorang itu? Seolah-olah gambar seseorang itu memaksa kita untuk membaca buku novel yang berjudul Laksamana Jangoi. Ketiga, susunan kata demi kata membuat pencinta novel membacanya menggeli perut rasanya memiliki humor tersendiri. Akan tetapi jika dilihat dari segi bentuknya, Sosok lelaki berdiri tegak kedua tangannya melipat di suasana yang sepertinya diwaktu senja hari seolah-olah ada yang ditunggunya. Seandainya ada yang ditunggu, Siapa yang ditunggunya?.
            Dari sudut pandang, sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Mursal Esten dalam sebuah karyanya yang berjudul Pengantar teori dan sejarah sasrta indonesia yang saya kutip di buku sastra kita, keritik, dan loka litaspengarang Drs. Suhardi, M. Pd di halaman 195 mengatakan bahwa karya itu lahir karena adanya reaksi atas kondisi masyarakat, hal itu biasanya disampaikan pengarang dengan menggunakan gaya bahasa yang cukup halus agar masyarakat tidak merasa tersinggung. Akan tetapi mampu menangkap dengan tepat pesan-pesan yang disampaikan pengarang di dalam pengarangnya.
            Karena itulah, guna merespon apa yang disampaikan pengarang dalam novel Laksmana Jangoi ini kepada seluruh masyarakat yang menikmati novel ini perlu kita ketahui karena permasalahan itu pasti ada jalan keluarnya. Oleh sebab itu novel ini perlu dilaksanakan pemedahan novel agar tidak menimbulkan pro dan kontra, karena ada kata-kata atau sindiran-sindiran tajam namun halus dan lembut di cerna, bisa saja khalayak membaca tidak sepaham dan sependapat apa yang dikatakan oleh si pengarang. Yang saya kutip dan saya cerna dalam buku satra kita, keritik, dan lokalitas pengarang Drs. Suhardi, M. Pd mengatakan Abrams salah seorang kritikus sastra dunia menawarkan empat pendekatan yang dapat digunakan sebagai pisau pembedah sastra, yaitu: pertama Pendekatan ekpresif, yaitu pendekatan yang lebih menitik beratkan pada hubungan karya sastra dengan pengarangnya sendiri; kedua pendekatan mimesis, yaitu pendekatan yang lebih menitik beratkan hubungan karya satra dengan realitasmasyarakat yang ada; ketiga pendekatan pragmatik, yaitu pendekatan yang lebih menfokuskan diri pada hubungan teks sastra dengan pembaca sebagai penikmat; dan yang keempat pendekatan obyektif, yaitu pendekatan yang lebih menitik beratkan teks sebagai suatu yang otonom.
            Dengan empat pendekatan yang di paparkan Drs. Suhardi, M.Pd menurut Abrams tersebut, novel yang cetakan pertama pada tahun 2011 ini dapat dilihat beberapa sudut pandang, yaitu dari aspek sensitivitas yang dimiliki oleh seseorang pengarang, pemanfaatan imajinasi oleh pengarang, intelektualitas pengarang dalam realitas yang ada di sekeliling pengarang.
Aspek sensitivitas pengarang
Dengan daya pikiran dan kekuatan sensitivitas yang dimiliki pengarang terhadap suasana disekilingnya, yang menyebabkan pengarang tidak abisnya obyek penulisan. yang dipaparkan Drs. Suhardi, M. Pd dalam bukunya satra kita, keritik, dan lokalitassebagai mana yang dikemukakanProf. Dr. Hasanudin W. S. Bahwa sebuah karya akan lahir jika sang penulis memiliki dua modal pokok, yaitu Kreativitas dan sensitivitas.
Dimata Si penulis memberikan judul “Laksmana Jangoi” ini sesuai dengan di daerah kehidupan si penulis yang berada di kepulauan yang seper 70% lautan dan seper 30% daratan. Tokoh-tokoh yang disajikan si pengarang dalam novel ini Seorang Lanun yang memiliki Kapal Ajaib dengan perwatakan pendiam,gagah, wibawa, walau kadang-kadang gila, suka menolong, rajin menabung, baik hati dan betul-betul penuh kharisma, dan memiliki ratusan Anak Buah Kapal (ABK).
Imajinasi pengarang
            Kenyataan si pengarang karangan yang dipersembahkan untuk kalangan pembaca di dalam novel “Laksmana Jangoi” begitu menyatu oleh situasi saat ini akan tetapi sesuatu yang tidak bisa dihindari dan tidak bisa dibantah oleh kenyataan yang dipersembahkan untuk pembaca bukanlah kenyatan yang tulen. Akan tetapi hasil perpaduan kenyataan yang ada di sekeliling si pengarang dengan kenyataan di dalam diri si pengarang. Satu tujuan dengan hal yang ada, pemanfaatan imajinasi pengarang dalam karangannya “Laksmana Jangoi” terlihat pula ada beberapa kekurangan yang dikatakan belum seutuhnya baik dan benar. Salah satunya tidak memiliki catatan kaki disetiap makna kata yang sulit untuk dipahami dan dicerna oleh khalayak pembaca.

Nama INDRA
Mata Kuliah Sanggar Bahasa
Dosen pembimbing Drs. Suhardi, M. Pd
           

KRITIK TEATER "Mendu".



Setiap masyarakat termasuk masyarakat melayu pada umumnya, melayu Kepulauan Natuna pada khususnya telah mempunyai kedudayaan tersendiri yang dijadikan sebagai acuan dan dorongan dalam menggapai apa yang diharapkan berpungsi sebagai identitas, kepribadian, dan sarana komunikasi dalam memperkenalkan daerah masing-masing. Pada kesempatan ini saya mencoba mengkeritik Teater Mendu Kesenian Kabupaten Natuna.

            Mendu adalah salah satu kesenian khas Kabupaten Natuna yang berawal dari Pulau Laut, beberapa sumber menyebutkan bahwa pada awalnya kesenian Mendu dimainkan dan dikembangkan oleh Orang Kaya Maddun. Karena kedudukan orang kaya sangan kuat di Pulau Laut saat itu, maka permainan ini sangat cepat berkembang keseluruh wilayah kepulauan sekitar. Semenjak mulai dikembangkan, kesenian mendu ini selalu menggunakan syeh yang dibangkitkan atau dipanggil melalui mantra-mantra orang-orang menjadi tertarik untuk menyaksikan musik beserta nyanyian yang dilanturkan dalam pementasan kesenian mendu, jika bunyi musik  dan nyanyian mendu dilanturkan maka orang-orang sanggup datang dari jauh-jauh bahkan tidak pulang jika penampulan belum selesai hingga larut malam.

            Mendu adalah kesenian tiater rakyat khas Natuna yang mengisahkan tentang terbuangnya Putri Siti Mahdewi di tengah hutan yang berada di wilayah kerajaan Antapura karena kutukan sihir. Sang Putri terkena kutukan sihir karena menolak untuk diperistrikan oleh Raja Laksemalik. Dalam perjalanan nya di tengah hutan, putri bertemu dengan dua orang pemuda bersaudara yang gagah dan tampan yakni Dewa Mendu dan adiknya Angkara Dewa. Kedua pemuda bersaudara ini langsung memberikan pertolongan dengan membebaskan sang putri dari kutukan sihir. Namun kedua pemuda bersaudara ini akhirnya berselisih paham karena masing-masing menyukai putri Siti Mahdewi. Akhirnya sang adik pun mengalah dan putri Siti Mahdewi dipersunting oleh sang kakak Dewa Mendu. Kesenian ini telah ada sejak tahun 1970.
            Pada zaman dulu pertunjukan Mendu ini memiliki durasi sampai dengan 44 malam. Pementasan hari pertama hingga hari yang keempat puluh empat berlangsung hingga setiap malam. Hanya saja dalam perkembangannya kini pertunjukannya dapat dipersingkat hingga satu sampai dua hari bahkan bisa menjadi 2 jam saja.
            Di dalam kesenian Mendu ada dialog dan nyanyian. Lagu-lagu tersebut sebanyak sebagai tersebut: 1, Lagu nomor  Satu, Antara Dewa Mendu dengan Mamak Mentri. 2, Lagu serawak. 3, Lagu inda, Dewa Mendu dengan Wasir Mentri. 4, Lagu Pecah Wangkang. 5, Lagu Catuk, Lagu untuk Pahlawan. 6, Lagu Lemak Lamun, Dewa Mendu dengan Anaknya. 7, Lagu Singkawang, Dewa Mendu dengan Anaknya. 8, Lagu Bawang Putih, Tuan Putri sedang bermain di taman bunga. 9, Lagu air mawar, saat berperang. 10, Lagu hilang Wayat, saat berladung. 11, Lagu Taru Inai, Lahu Tok Imam, Tok Niaga, Tok Ketet. 12, Lagu membawa nasib. Tuan Putri saat berduka. 13, Lagu berkelana Kumum, pengiring saat berjalan di hutan. 14, Lagu Lakau, Datuk Mentri saat berperi.

            Setiap menciptakan segala hal pasti ada kelebuhan dan kekurangan. Di dalam teater mendu ini terdepat kekurangan dan kelebihannya. Kekurangan Teater Mendu yaitu: 1, Lagu-lagu yang diiringin dalam Seni Teater Mendu ini sangat sulit ditemukan, jadi. Sulit untuk dipelajari dan dimainkan khalayak umum. 2, waktu yang dipersembahakan cukup lama.Sedangkan Kelebihan dalam seni Teater Mendu ini iyalah: 1, Seni Teater Mendu Mengambarkan Khas Khazana dalam masyarakat Kabupaten Natuna. 

Saran
Persoalan tersebut tidak perlu dipermasalahan yang perting perlu dicari solusinya. Untuk itu sangat sayangnya andai kata suatu ciptaan dan karangan tidak dirasakan dan dinikmati sunggu sayang sekali. Oleh karena itu, pengembangan seni Teater Mendu Kabupaten Natuna perlu diarahkan pada pengembangan Teater nasional dan internasional yang berorientasi pada pelestarian budaya. Jika berhasil diciptakan pengembangan Teater Mendu yang memperhatikan kelestarian budaya, dapat diyakini bahwa dari waktu ke waktu Kabupaten Natuna akan tetap eksis sebagai daerah yang memiliki akar budaya yang kreatif dan mampu menjadi menyesuaikan diri bersama dengan pengembangan Teater.


NAMA INDRA KELAS B.1
MATA KULIAG SANGGAR SASTRA
DOSEN PEMBIMBING Drs. Suhardi, M. Pd

ANALISIS PUISI CHAIRIL ANWAR "Selamat Tinggal" Dari sisi atrata norma.



Pengertian puisi
Puisi sebagai salah satu jenis sastra yang merupakan pernyataan sastra yang paling utama. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu, puisi dari dulu hingga sekarang merupakan pernyataan seni sastra yang paling diminati oleh kalangan sastrawan-sastrawan. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni yang istimewa. Oleh karena itu, dari dulu hingga sekarang puisi selalu diciptakan orang dan selalu dibaca, pembacaan puisi diiringi dengan irama dan gerakan-gerakan untuk lebih merasakan kenikmatan seninya dan nilai kejiwaannya yang tinggi. Dari dulu hingga sekarang, puisi digemari oleh semua lapisan masyarakat. Karena kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi pun selalu berubah, mengikuti perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah, dan kemajuan intelektual yang selalu meningkat. Karena itu, pada waktu sekarang ujud puisi semakin komleks dan semakin terasa  sukar sehingga lebih menyukarkan pemahamannya. Begitu juga halnya corak dan ujud puisi indonesia moderen. Lebih-lebih hal ini disebabkan oleh hakekat puisi yang merupakan inti pernyataan yang padat itu (Rachmat Djoko Pradopo, 1987).
Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragam-ragamnya, mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari sedut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Sepanjang zaman puisi mengalami perubahan, perkembangan (Teeuw, 1980:12). Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan secara berangsur-angsur (evolusi) selera dan perubahan konsep estetikanya (Riffaterre,1978).
Menurut para ahli puisi itu adalah:
Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Carlyle berkata puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal (berkenaan dengan musik atau bunyi-bunyian). Wordsworth puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif. Auden mengemukakan puisi adalah pernyataan perasaan yang bercampur baur. Dunton berpendapat bahwa puisi itu merupakan pemikiran manusia secara kongret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detikyangpaling indah dalam hidup kita. Yang dikutip oleh (Rachmat Djoko Prodopo dalam bukunya Pengkajian Puisi, 2009: 6).
Di samping itu, seseorang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya yang mengandung seni dan keindahan, puisi juga  memiliki makna tersendiri yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Oleh sebab itu, sebelum mengkaji aspek-aspek yang lain, perlu terlebih dahulu puisi dikaji sebagai struktur yang bermakna dan bernilai seni dan keindahan.
Meskipun sampai saat ini orang tidak dapat memberikan ketentuan dan batas arti setepatnya apakah puisi itu, namun yang memahaminya perlu ketahui perkiraan sekitar pengertian puisi. Secara gerakan orang dapat mengerti apakah puisi berdasarkan konvensi wujud puisi, namun sepanjang sejarahnya wujud puisi selalu berudah seperti yang dikemukakan Riffaterre di atas.
Analisis Atrata Norma
Puisi (sajak) merupakan sebuah susunan yang komleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisi sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata (Wellek dan Warren, 1968: 140). Karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma. Masing-masingnorma menimbulkan lapis norma di bawahnya (Rene wellek 1968:151). Seorang Filsafat Polandia, di dalam bukunya Das Diterarische Kunstwerk (1931) ia menganalisis norma-norma itu sebagai berikut. Lapisan norma pertama adalah lapis bunyi/ suara (Sound Stratum). Bila seseorang membaca puisi, maka yang terdengar itu adalah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Lapis bunyi itu menjadi dasar timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti. Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat. Semuanya itu merupakan satuan-satuan arti. Yang dikemukakan oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam bukunya Pengajian Puisi, 2009: 14 dan 15.
Untuk lebih menjelaskan analisis strata norma tersebut maka dianalisis Puisi (sajak) Chairil Anwar (Selamat Tinggal).
SELAMAT TINGGAL
Goresan Pena:Chairil Anwar

Aku berkaca

Ini muka penuh Luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
..... dalam hatiku? .....
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah.................. ??

Segala menebal, segala mengental
Segala takku kenal ................ !!
Selamat tinggal ................! !
Kumpulan Puisi Chairil Anwar
(Deru Campur Debu), Cetakan kedelapan, 2010:5

Dari Sisi Lapis Suara
Sajak tersebut berupa satuan-satua suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara)sajak itu: suara frase dan suara kaliamat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu iyalah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, disini bahasa indonesia. Hanya saja, dalam puisi membicarakan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni (Rachmat Djoko Pradopo, 2009:16)
Misalnya dalam bait pertama baris pertama ada asonansi (peluang bunyi vokal pada deretan kata) u dan a; ‘aku berkaca. Di baris ke dua ada aliterasi a yang berulang-ulang:.... muka.... luka, siapa punya. Begitu juga dalam baris keempat ada asonansi u: ‘seru-menderu’, baris kelima dan  keenam dijumpai kata ‘hatiku-lalu yang asonansinya u. Dan pola sajak akhiran bait ke-1, 2, 3, dan 4: yang bersajak aaa, karena di dalam puisi Chairil Anwar yang berjudul “Selamat Tinggal” ini setiap bait memiliki tiga baris. Setiap si pengarang ingin bertanya, memerintah meninggikan atau menaikan suatu nada bunyi, banyak sekali memberikan tanda baca titk(.), tanda seru(!), dan tanda tanya(?) yang berlebihan. Contoh: Bait kedua baris kedua; ..... dalam hatiku? ....., Bait ketiga baris ketiga; Ah.................. ??, Bait keempat baris kedua; Segala tak kukenal ................ !!, dan Bait keempat baris ketiga; Selamat tinggal ................ !!. Banyak dijumpai tanda-tanda baca yang berlebihan.


Dari Sisi Lapis Arti
Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua satuan arti (Rachmat Djoko Pradopo, 2009:17).
Dalam bait pertama, ‘Aku berkaca’ berarti; Si penulis, menyadari dia harus mengoreksi diri, bahwa manusia itu memiliki kekurangan dan kelebihan, menulis mencari dimana letak kekurangannya; berteladan kepada; berkacalah kepada orang tua agar bersikap bijaksana. Pepatah mengatakan ‘jangan bercermin (kaca) air yang keruh’, maksudnya adalah jangan meniru perbuatan orang yang buruk. ‘Ini muka penuh luka siapa punya?’Si penulis bertanya-tanya muka siapa yang luka, maksud luka disini iyalah muka yang penuh dosa, seorang yang menderita, Kekurangan-kekurangan pribadi atau keburukan-keburukan.
Dalam bait kedua,Kudengar seru menderu..... dalam hatiku? .....Apa hanya angin lalu?’. Si penulis bertanya-tanya di dalam hati,berita yang didengardi telinganya sepintas laluapakah benar atau hanya sepintas angin lalu saja. Dalam bait ketiga, ‘Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta’ Si penulis menjadi pusing/ bingung mengdengar lagu (tingkah laku atau suara-suara lain) di waktu tengah malam buta(larut malam) apakah benar-benar berita itu terjadi. Tapi, Si penulis Pusing yang mana ingin didengarnya, apakah bisikan dalam hatinya, bisikan anging lalu yang melintas di telinganya atau lagu lain pula yang didengar di waktu tengah malam. Lalu Si penulis mengambil keputusan, Si penulis berteriak, Ah..................??. walaupun pikirannya masih bertannya-tanya.
            Dalam bait keempat,’Segala menebal, segala mengentalSegala takku kenal ................ !!’. Si penulis bulat mengambil keputusan tegas bahwa yang dia pikirkan “segala menebal”, maksud menebal adalah kasar dan tidak berbelas kasian. “segala mengental”, maksud mengental adalah membeku, padat, keras hati Si penulis. “Segala takku kenal................!!”. Si penulis sudah tidak memperdulikan lagi. Bahwa dia percaya apa yang ada di dalam hati kecilnya bahwa Si penulis tidak menghiraukannya (takku kenal). Maka Si penulis benar-benar tekat bahwa dia meninggalkan berita atau ucapan orang lain yang bisa merugikannya. Maka Si penulis mengakhiri puisinya dengan kata “Selamat tinggal ................! !”, maksud selamat tinggal disini Si penulis percaya diri, harus sabar dan tenang mengambil keputusan suatu masalah. Harus berpikir-pikir terlebih dahulu.
Di dalam gurindam dua belas pasal kesebelas bait keempat karangan Raja Ali Haji bin Tengku Haji Ahmad mengatakan “hendak marah dulukan hujah”. Maksudnya adalah orang yang suka marah darahnya selalu naik akibatnya hilang akal sehat, perbuatan jelekpun muncul. Dalam bait ini diisyaratkan untuk mendidik karakter, supaya karakter marah jangan dipelihara. Marah harus tepat sasaran. Marah adalah perbuatan tidak terpuji. Yang dikemukakanolehProf. Dr. H. Maswardi Muhammad Amin, M. Pd, dalambukunyaPendidikan karakter anak bangsa, 2011: 192.
            Jadi, sangat tepatlah Si penulis mengambil keputusan bahwa dia ingin meninggalkan, meninggalkan bukan berarti tidak menerima kenyataan, tidak bertanggujawab, atau lari dalam permasalahan. Tetapi, Si penulis tidak mau marah melihat kenyatan, tidak tau dengan siapa si penulis ingin menghujah. Maka dari itu Si penulis mengatakan “Selamat tinggal ................! !”.
NAMA INDRA KELAS B.1
MATA KULIAHSANGGAR BAHASA
DOSEN PEMBIMBING Drs. Suhardi, M. Pd