Senin, 16 April 2012

SYIWA-NATARAJA


Karya: Sanusi Pane
Kepada R. Soeratmaka


Pada perjalananku melalui langka purbakala,
Mengunjungi tempat keramat, dengan harapan bernyala
Di dalam hati, di bumi India yang mulia,
Yang dari dulu sampai ke akhir zaman dalam dunia
Tinggal kuat dan sakti dan termayhur, aku melihat
Di Sailan, tempat zaman telah silam berkilat-kilat
Astana Rahwana sebagai bulan purnawa raya.
Dan di negara Godawari dan Krisyna, Nataraja.
Mahadewa sebagai Penari. Sungai Mahanadi,
Dengan meninggalkan India Selatan, kuseberangi,
Dan mataku termenung memandang Pataliputera,
Tanah daratan, tempat Ayodia dan Hastinapura,
Madiadesa, kulalui dan aku berdiri, terkenang
Penuh rindu dendam akan waktu yang silam, dipandang
Karusetra Aku berada di Sarnath negara,
Tempat Budha pertama kali mengeluarkan sabda.
Di Agra dan Fatehpur Sikri, di tepi Jamna.
Aku mengherani gedung marmar yang indah tidak berkata
Dalam taman dan astara Taj Mahal, Mutiara Timur
Tempat Syah Jaha dan Mumtaz-i-Mahal bersanding berkubur,
Aku bermimpi, mengenang cinta.
O, jiwa India

Kupandang gilang-gemilang, kurasa mahamulya
Tetapi, yang kuingat seperti yang paling utama,
Ialah, ketika aku, setelah aku selurus lama.
Memandang naiknya Surya Dewa ke cakrawala,
Dengan mulia raya, cerlang-cemerlang, bernyala-nyala
Di tepi Gangga yang sakti, melutut dalam Samadi,
Dalam Candi Kencana, yang beridir di jantung hati
Tanah Hindustan
Aku terkenang akan Nataraja,
Yang kuherani dengan mata yang bercaya-cahaya
Di Ratnadwipa dan India Daksina : Syiwa menari
Dalam lingkungan api bernyala-nyala, yang tahadi
Belum pernah aku dapat, biarpun aku sudah
Memandang hampir segala yang indah, yang belum punah
Oleh zaman dan tangan yang ganas, saksi bercaya
Dari abad kemegahan, abad yang kaya raya
Di Indonesia tanah airku.
Natesa berdiri

Seorang orang duduk termenung seorang diri,
Matanya muram, seperti dukacita dunia ini
Sekaliannya dirasanya. Pandangannya menyayat
Hatiku, membakar jiwaku, membuat’ku teringat
Akan sengsara kemanusiaan dan malapetaka
Diri sendiri. O, ‘ku sudah pernah memandang mata
Yang demikian rupanya itu di’alam jasmani,
Mata, yang menyuruh daku merdeheka atau mati.
Api bernyala-nyala datang mengelilingi dia,
Bertambah tinggi, bertambah besar, dan antero dunia
Tercengang, karena ia tinggal samadi, diam semata,
Akhirnya dalam kalbu hati dunia ia bertakhta.
Sekalian ‘alam berhenti beredar memberi hormat,
Jiwa makin lama kian lebar dan pada saat
Ia beridir dari kalbu hati dunia, segala ‘alam
Segala matahari, bulan dan bintang ada dalam
Dirinya : la satu dengan Nataraja, Mahadewa
Ialah dia : seorang yang mencari sudah merdeka!
“O, putra Duka Nestapa, yang berjalan dari candi
Ke Candi, dari negheri ke negeri, mencari
Kelupaan dan penglipur buat hatimu, yang dibelah
Oleh malapetaka dan keinginan, yang belum pernah
Bisa diobati barang suatu, ketahuilah,
Bahwa Bah’gia berada dalam hatimu. Satuilah,
Tari segala ‘alam, Masukilah api bernyala,
Sehingga engkau akhirnya yang Syiwa-Nataraja”

Di atas buta, tangan kanan memegang gendeng, kiri
Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan
Dan kaki, wajah muka amat permainya : angan-angan
Keindahan
Genta candi, merdu, bersahut-sahutan
Dan aku merasa sebagai berada dalam lautan
Kedamaian. Tiba-tiba ‘ku memandang dengan jiwa,
Menari dalam api dunia terang-benderang, Syiwa.
Dalam dirinya bergerak dan beredar, tak terperi
Berapa banyaknya, bersinar-sinar, berseri-seri,
Matahari, bulan dan bintang, semua mengikut bunyi
Gendang yang mahamerdu dan nyaring, yang tiada
Sunyi
Dari memenuhi seantero dunia. ‘Alam yang muram
Melayang ke dalam hati teratai api dan suram
Diganti sinar caya yang terang-benderang dan ‘alam
Kembali beredar dalam dunia, menari dalam
Pesta cahaya dan suara.
Tiap ‘alam berhati
Sendiri, emas yang bersinar-sinar, teratai api
Yang kembang. Makhluk yang indah permai, yang
Gilang-gemilang
Masuk ke dalam, ke luar kembali sebagai bintang,
Terbang bernyanyi, antara ‘alam yang silang-bersilang,
Beradu kebagusan, banyaknya tiada terbilang
“Pandang kebagusan dunia, o putera Duka Nestapa”,
Kedengaran satu suara yang halus-merdu berkata,
“Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri,
Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi
Dari luar. Apa yang kau pandang, terjadi sekarang,
Tidak ada waktu dulu dan nanti. Semua barang
Sudah ada, ada dan akan ada dalam sebentar

Itu jua. Supaya segala makhluk tahu benar,
Bahwa ia harus turut menari dalam pesta caya,
Agar berbahagia, ia harus dalam api bernyala
Membakar segala ikatan buta yang dikarangnya,
Dibikinnya sendiri. Api memusnahkan kebatannya
Dan jiwa merasa siksa, tetapi, lihat, ia terbang
Sebagai dewa, indah permai ke dalam cuaca terang.
Tetapi beli ia merdeka, berkali-kali lagi
Ia masuk untuk membersihkan diri ke dalam api,
Sehingga akhirnya ia sadar, bahwa Nataraja
Ia sendiri, bahwa dunia semata tidak ada
Di luar dirinya. Jalan ringkas, putra Nestapa.
Mencapai kemerdekaan ini, pandanglah dengan
“nyata”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar