A. Pendahuluan
Mengenal dan
memahami peta periodisasi sejarah sastra Indonesia diperlukan oleh para
sastrawan muda Indonesia untuk membentuk karakter yang nasionalis dan
patriotik. Tidak lain, karena wawasan akan sejarah tersebut akan semakin menuai
benih cinta yang semakin mengakar di dalam diri dan memperkuat keyakinan bahwa
Indonesia sangatlah kaya akan seni dan kebudayaan. Bhinneka Tunggal Ika, moto
Ibu Pertiwi bukan sekedar iklan pasar, tetapi realita yang acapkali
diremehtemehkan. Untuk itu, kita perlu mengetahui mula sejarah sastra di
Indonesia, yang tidak lain diawali dengan sastra Melayu.
Ragam karya sastra
Indonesia menurut bentuknya, terdiri atas: puisi, prosa, prosa liris, dan
drama. Masing-masing ragam karya sastra Indonesia dari setiap periode itu
mengalami perkembangan sehingga menimbulkan ciri khas.Beberapa orang penelaah
sastra Indonesia telah mencoba membuat periodisasi sastra Indonesia ini. Salah
satunya adalah H.B. Jassin.
Dia membagi
periodisasi sastra ini menjadi dua macam: Sastra Melayu dan Sastra Indonesia
Modern, dengan pemecahan Sastra Indonesa Modern ini menjadi beberapa fase,
yaitu: angkatan Balai Pustaka (angkatan 20), Pujangga Baru (angkatan 33),
angkatan 45 dan angkatan 66. Meski pada tulisan kali ini, penulis hanya akan
menjelaskan secara singkat sejarah Sastra Melayu dan mengerucutkannya pada
proses perkembangan puisi/prosa, serta pengenalan singkat tokoh-tokoh ternama
saat itu.
B. Kilas Singkat Sejarah Sastra Melayu
Kebudayaan Melayu,
sebagaimana kebudayaan Jawa, memperoleh pengaruh yang sangat kuat dari India
kira-kira semenjak abad ke-5 M hingga abad ke-14 M. Namun pencapaian keduanya
cenderung berbeda. Kebudayaan Jawa telah menorehkan prestasi menonjol dalam
bidang seni ukir seperti candi, patung dan relief, sedangkan pencapaian terbesar
kebudayaan Melayu terletak di bidang kesusasteraan.
Braginsky dalam
bukunya Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu
dalam abad 7-19, terjemahan Hersri Setiawan,
menyatakan bahwa dasar tradisi kebudayaan Melayu adalah sastra. Tentu saja hal
ini tidak berarti bahwa kebudaan Melayu tidak menghasilkan pencapaian di
bidang-bidang lainnya. Dasar tradisi Melayu ini (sastra, pen.), baru ada
semenjak abad ke-16, tertera pada sebuah manuskrip dengan aksara Jawi dan
menggunakan bahasa Melayu.
Ketika orang Melayu
mulai mengenal agama Hindu dan Buddha yang berasal dari India, mereka turut
mengadopsi bahasa dan aksara yang digunakan di dalam dua agama tersebut. Lantas
mereka mengintegrasikannya dengan bahasa asli, dan mulai menciptakan
karya-karya tertulis berdasarkan kaidah-kaidah yang terserap. Tujuan mulanya,
tentu agar perasaan dan pikiran mereka yang tercurahkan dalam karya bahasa,
memiliki kemungkinan lebih besar untuk kekal.
Namun,keberadaan
aksara, alat tulis serta kemahiran menulis saja tidak cukup. Karya-karya sastra
tertulis yang muncul pada masa integrasi Melayu dengan Hindu-Buddha sangat
sukar ditemukan, karena hampir tidak ada satu pun yan selamat, kecuali
karya-karya yang dituliskan pada material yang tidak rentan dengan perubahan
cuaca, seperti pada prasasti atau nisan. Bahkan menurut penulis, belum
diketemukan karya sastra Melayu pada kedua artefak itu.
Bisa jadi,
melenyapnya karya-karya sastra dari masa yang cukup jauh ini, sanggup
dikorelasikan dengan hakikat sastra: baik dalam bentuk maupun isinya, pasti
mengandung nilai-nilai tertentu yang dianut, diyakini dan diamalkan oleh
masyarakat atau anggota masyarakat yang menciptakannya. Karya-karya sastra pada
masa pengaruh India tentu mengandung nilai-nilai keagamaan dan norma-norma fundamental
Hindu-Buddha yang sangat lekat, sehingga ketika pengaruh Islam muncul,
nilai-nilai tersebut musti disisihkan dan digantikan oleh nilai-nilai Islam.
Meski, Api Sejarah milik
Ahmad Mansur Suryanegara, sedikit kontroversial dengan data historik yang umum
ditemukan, mengatakan bahwa Islam sudah memasuki Indonesia jauh sebelum
Hindu-Buddha. Harus ditekankan pula bahwa
agama Hindu-Buddha memmpunyai watak elitis, yakni pendalaman pengetahuan
tentang kedua agama tersebut hanya mampu dilakukan oleh kalangan tertentu,
misalnya kelas brahmana atau bhiksu (Marwati Djoened Pusponegoro & Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Balai Pustaka Pendidikan dan Kebudayaan). Karakter
elitis ini membuat Islam yang tidak membedakan kasta (egaliter, pen.)
memberikan kesempatan bagi siapa saja yang ingin mendalaminya dan dapat
diterima, juga tersebar luas di kalangan orang Melayu. Dengan karakter egaliter
pula, aksara jawi yang diperkenalakan oleh kebudayaan Islam/Arab-Persia,
mendapatkan dukungan penuh ketika mendesak karya-karya dan aksara sebelumnya
yang masih mengandung bentuk maupun nilai-nilai budaya yang elitis.
C. Islam sebagai Awal Penggerak Transfigurasi
Kesusastraan Melayu
Islam sebagai
pemilah bagi dua zaman besar kesusasteraan Melayu yang berbeda, yaitu Sastra
melayu Rendah dan Tinggi, memiliki peran dan alasan yang cukup kuat. Namun,
pada dasarnya Islam adalah daya gerak yang telah mentransformasi seluruh
kebudayaan Melayu, terutama kesusastraanya, menjadi gejala peradaban yang
berkembang pesat dan menyebar luas. (Harun Mat Piah, Traditional
Malay Literature, diterjemahkan ke bahasa
Inggris oleh Harry Aveling, Kuala Lumpur).
Setelah melewati
fase peralihan dari pengaruh India ke Islam (Masa Peralihan atau Masa transisi,
pen.), kesusastraan Melayu pun mencapai masa keemasannya. Zaman ini sering
disebut sebagai Zaman Klasik. Pada zaman ini pula, kesusastraan Melayu
berkembang. Bukan hanya sebagai proyek yang berhubungan dengan tradisi penulis
(literer) tetapi merambah fungsi praktis-religius, hingga alat transformasi
keadaan sosial, politik dan ekonomi.
Mula-mula, para
juru dakwah menggunakan aksara Jawi untuk melancarkan pengajaran agama Islam
kepada orang Melayu yang masih dipengaruhi oleh agama dan kebudayaan dari
India. Traktat-traktat keagamaan dan pelbagai sarana dakwah lain, termasuk
narasi dakwah melalui wadah literer, ditulis dalam bahasa Melay dengan
menggunakan aksara Jawi. Mau tidak mau, orang Melayu dan etnis-etnis lain di
kawasan Asia Tenggara lainnya yang ingin menyelami religiusitas Islam harus
menguasai bahasa Melayu dan aksara jawi. Sehingga, sastra Melayu pada Zaman
Klasik menurut Braginsky, adalah sastra antaretnis. Nampak dalam pelbagai genre
lain seperti undang-undang kenegaraan, tata cara pemerintahan, wawasan
pengetahuan tradisional, bahkan surat-surat obligasi dan surat-surat resmi
antar kerajaan Melayu, baik antar kerajaan maupun dengan entitas luar.
Tetapi periodisasi
kesusastraan Melayu ini tidak menetapkan batas-batas pembagian yang jami’ dan mani’. Gejala kesusastraan Melayu adalah gejala unik dalam kesusastraan
dunia, karena kategorisasi yang basanya diterapkan dengan cukup mudah terhadap
sastra modern, seringkali mengalamami kesulitan dalam merangkum khazanah
mereka. Semisal, masa pengaruh India tidak meninggalkan karya sastra tertulis,
tetapi banyak anasir sastrawinya terkandung di dalam karya-karya sastra yang
dciptakan pada masa pengaruh Islam.
Ambil contoh Hikayat
Seri Rama, yang jelas mengandung pengaruh
teramat kental dari Ramayana, sebuah karya khas India. Tetapi karya ini dijumpai sebagai karya sastra
tertulis yang menggunakan aksara Jawi dan berasal dari Zaman Klasik serta telah
dimodifikasi sedemikian rupa, sehinga menjadi sebuah karya yang bisa dikatakan
‘baru’. Sedangkan Sulalatu al-Salatin, yang lebih terkenal dengna Sejarah Melayu, merupakan
karya tulis bertarikh 1612 M (ada juga yang mengatakan 1535 M), namun menjadi
ikon kesusastraan Melayu setelah ditransliterasi dan diterbitkan dengan alat
percetakan modern pada tahun 1800-an oleh Seyikh Abdullah bin Abdul Kadir
Munsyi. (Harun Mat Piah: 2002).
Demikian besarnya
pengaruh Islam terhadap kebudayaan dan kesusastraan melayu pada Zaman Klasik
sehingga mempengaruhi semua perkembangan sustrawi pada masa berikutnya, yakni
setelah pengaruh Barat, Tionghoa dan ketika kesadaran nasional serta
kebangkitan kembali kebudayaan lokal muncul. Meskipun, tentunya setiap masa
juga memiliki karakteristiknya masing-masing.
D. Sastra Melayu Tionghoa, Salah Satu Produk
Turunan Kesustraan Melayu
Istilah sastra
Melayu rendah atau sastra Melayu Tionghoa digunakan untuk menyebutkan karya
sastra dalam bahasa Melayu yang ditulis oleh peranakan Tionghoa.Kosakatanya
banyak dipengaruhi oleh bahasa sehari-hari alias bahasa pasar, khususnya
unsur-unsur bahasa Tionghoa.Oleh karena itu,bahasa tersebut sering dijuluki
dengan bahasa gado-gado atau capcai pada zamannya.
Melayu Tionghoa
juga sering disebut sastra Melayu Tionghoa peranakan.Mereka adalah golongan
peranakan yang lahir di Indonesia dan ikut menghasilkan, mendukung, juga
menikmati karya sastra Melayu.Mereka adalah masyarakat yang mengalami
keterpurukan budaya dan belum ada adaptasi budaya dan bahasa yang memadai.Di
samping itu, sampai akhir abad 19, pemerintah kolonial turut melarang bangsa
Tionghoa untuk belajar di sekolah Belanda.
Bahasa Melayu
rendah dilawankan dengan bahasa Melayu Tinggi, yaitu bahasa Melayu yang
digunakan di Semenanjung Melayu, dan digunakan dalam karya sastra Balai
Pustaka.Bahasa Melayu Tinggi dengan demikian identik dengan bahasa sastra
tinggi. Pemerintah kolonial memang antipati terhadap etnis Cina, demikian pula
terhadap bahasa dan sastra Tionghoa, dengan alasan bahwa masyarakat Tionghoa
menganut paham Marxis, beraliran kiri, agresif serta lebih banyak menolak
kebijakan pemerintah kolonial. Masyarakat Tionghoa juga ditempatkan pada daerah
tertentu dan sastranya dianggap sebagai bacaan liar.
Menurut HB. Jassin,
perdebatan tentang Melayu Tionghoa belum banyak.Pada umumnya pembicaraan ini
muncul dalam kaitanya dengan masalah angkatan. Seperti diketahui, angkatan
dalam sastra Indonesia modern dimulai dengan Balai Pustaka, Pujangga Lama, dan
seterusnya, seolah-olah ada keengganan para sarjana dalam melibatkan angkatan
Sastra Melayu Tionghoa, karena beberapa alasan:
- Sastra Melayu Tionghoa adalah karya-karya
yang secara khusus diapresiasikan di kalangan masyarakat Tionghoa
peranakan, jadi bukan bagian sastra Indonesia.
- Ketiadaan data untuk didiskusikan. Padahal,
Alisjahbana telah menyatakan bahwa bahasa melayu Tionghoa adalah varian
bahasa Melayu yang sudha tersebar luas di kepulauan Nusantara dan telah
mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Justru faktor ini semakin
menguntungkan kita, karena dengan mendapatkan pengaruh bahasa yang sangat
banyak, semakin menambah tinggi derajat bahasa Indonesia. (Sutan Takdir
Alisjahbana, Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan
Malaysia sebagai Bahasa Modern, 1957, pdf)
Seperti
yang diketahui, khazanah sastra Indonesia memiliki ciri khas yang unik yang
tidak mungkin dimiliki oleh bangsa lain. Dengan mengutip pendapat Ajib
Rosidi,pengertian modern dalam sastra Indonesia adalah semangat politis, bukan
semata-mata zaman, era, periode, dan perkembangan historis lainya.Karenanya,
sastra Indonesia modern pada dasarnya tidak mengenal istilah dan tidak
bisadilawankan dengan sastra Indonesia lama sebab pengertian yang terakhir ini
digantikan dengan sastra-sastra daerah, yaitu keseluruhan sastra yang ada di
wilayah Nusantara,termasuk sastra Melayu itu sendiri. (Ajip Rosidi,Kapankah
Kesusasteraan Indonesia Lahir?, Haji Massagung,
1988).
Oleh karena itu,
bahasa Indonesia dalam pengertian modern meliputi tiga aspek:
- Ditulis dengan huruf latin dan disebarkan
secara luas dengan teknolog modern
- Mengunakan bahasa Indonesia atau pada masa
kolonialisme Melayu
- Menggunakan bentuk baru, karena pengaruh
sastra barat seperti: cerpen, novel, drama dan puisi.
Sastra yang lahir sebelum abad ke-20 dianggap
sebagai sastra daerah.Sastra Melayu Tinggi dengan demikian mengalami
keterputusan historis dan terpecah menjadi dua kelompok, baik secara literer
maupun kultural.Sebaliknya, sastra melayu Tionghoa sejak awal pertumbuhannya
hingga abad ke-20, masih tetap eksis. Bila dikaitkan dengan penulisnya, sastra
sebelum abad ke-20 dapat dibedakan menjadi:
- Karya sastra yang ditulis oleh orang-orang
non Tionghoa seperti penulis pribumi dan Belanda. Umumnya, penulis-penulis
tersebut adalah wartawan. Seperti F.D.J. Pangemanan, H.F.R. Kommer, F.
Winger, G. Francis, Mas Marco Kartodikromo dan R.M. Tirto Ardisoeryo.
- Karya sastra yang ditulis oleh orang
Tionghoa, diawali oleh Thio Tjien Boen, Gouw Peng Liang dan Oei Soei.
Pada
tahun 1800-an, semenjak penerbitan semakin marak, terjadi perkembangan pesat
dalam bidang sastra Melayu Rendah.Jumlah cetak buku mereka menyamai, bahkan
hampir melebihi seluruh periode Balai Pustaka hingga tahun 2000-an. Jumlah buku
yang dihasilkan sebanyak 2.757 judul buku.Termasuk di dalamnya buku-buku anonim
sekitar 248 judul, sehingga jumlah keseluruhan sekitar 3.005 judul. Dengan
rincian 1398 novel dan cerpen alsi, 73 sandiwara, 183 syair, 233 terjemahan
sastra Barat dan 759 terjemahan karya sastra dari bahasa Cina. (21 Maret 2013).
Kekayaan
dan keberagaman sastra Melayu Tionghoa ini jauh melebihi Khazanah Balai
Pustaka.Demikian juga kekayaan yang terkandng didalamnya.Sastra Balai Pustaka
misalnya terbatas hanya menampilkan masalah kawin paksa.Sebaliknya sastra
Melayu Tionghoa tema-temanya sangat beragam,seperti politik, kritik sosial,
nasionalisme, dan yang paling penting antikolonial.Berbeda dengan sastra Balai
Pustaka yang terbatas bicara seperti hanya berbicara dalam kerangka regional
saja, sesuai dengan politik orientalisme, sedangkan sastra Melayu Tionghoa
menampilkan hubungan antarbangsa.
Meskipun
sebagian besar masyarakat Indonesia mengangap Balai Pustaka sebagai suatu
angkatan dalam periodisasi sastra yang diploklamasikan oleh H.B Jassin secara
umum.Tetapi yang mendominasi pengarang pada Balai Pustaka adalah para pengarang
dari periode sebelumnya.Seperti pendapat Sykorsky, pakar sastra Indonesia dari
institut Kesustraan Asia Timur, Moskow dalam ceramahnya di Pusat Pengkajian
Kebudayaan UGM, Yogyakarta (Jumat, 8/3, 1991). Menurutnya, karya sastra tidak
akan lahir melalui penerbitan(Balai Pustaka), dan dengan sendirinya tidak lahir
melalui lembaga kolonialisme. Harus ada cikal bakal, dan faktor tersebut
terdapat dalam fase Sastra melayu Tionghoa.
E. Perkembangan Bentuk Puisi dan Prosa pada Sastra Melayu
Pada
ragam karya sastra puisi, Sastra Melayu yang pertama berbentuk mantera, pantun,
syair. Kemudian, bermunculan pantun kilat (karmina), seloka, talibun, dan
gurindam. Sedangkan pada ragam karya sastra prosa, Sastra Melayu yang pertama
berbentuk cerita-cerita pelipur lara, dan dongeng-dongeng. Dongeng meliputi
legenda, sage, fabel, parabel, mite, dan cerita jenaka atau orang-orang
malang/pandir.Bahkan, ragam karya sastra melayu ada yang berbentuk hikayat,
tambo, cerita berbingkai, dan wiracarita (cerita panji). Pada cerita dongeng
sering isinya mengenai cerita kerajaan (istanasentris) dan fantastis.
Kadang-kadang cerita tersebut di luar jangkuan akal manusia (pralogis).
Sebelum
masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya sastra tersebut disampaikan
secara lisan kurang lebih tahun 1500. Penyebarannya hanya dari mulut ke mulut
dan bersifat statis. Namun, setelah masyarakat Melayu mengenal tulisan,
karya-karya tersebut mulai dituliskan oleh para ahli sastra masa itu tanpa
menyebut pengarangnya dan tanggal penulisannya (anonim).
Sastra
Melayu sangat dipengaruhi oleh sastra Islam sehingga banyak terdapat kata-kata
yang sukar karena jarang didengar. Alat penyampainya adalah bahasa Arab-Melayu
dengan huruf Arab gundul sehingga sering menimbulkan bahasa yang klise. Di sisi
lain, karya-karya sastra yang dihasilkan selalu berisikan hal-hal yang bersifat
moral, pendidikan, nasihat, adat-istiadat, dan ajaran-ajaran agama. Cara
penulisannya pun terkungkung kuat oleh aturan-aturan klasik, terutama puisi.
Aturan-aturan itu meliputi masalah irama, ritme, persajakan atau rima yang
teratur. (Hans Bague Jassin, Kesusastraan Indonesia
Modern dalam Kritik dan Esei, Jakarta:
Gunung Agung, 1954 – 1967. Dituang pula dalam sebuah ringkasan cukup sistematis
dalam http://ilmuwanmuda.wordpress.com/perkembangan-berbagai-bentuk-sastra indonesia/.)
Berikut
kutipan karya sastra Melayu: (1). Tatkala
pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain, anak Raja Darab, Rum bangsanya, Makaduniah
nama negerinya. Berjalan hendak melihat matahari terbit, maka baginda sampai
pada sarhad negeri Hindi. Maka ada seorang raja terlalu amat besar kerajaannya.
Setengah negeri Hindi dalam tangannya, Raja Kidi Hindi namanya. Kutipan cerita tersebut merupakan ragam karya sastra
Melayu bidang prosa, khususnya bentuk hikayat. (2). Sungguh elok asam belimbing
Tumbuh dekat limau lungga Sungguh elok berbibir sumbing Walaupun
marah tertawa juga
Kutipan di atas termasuk salah satu contoh ragam
karya sastra Melayu bidang puisi, khususnya bentuk pantun anak-anak jenaka.
F. Tokoh-tokoh
Berpengaruh dalam Kesusastraan Melayu
Rasanya
tidak cukup mengulas sejarah sastra Melayu tanpa membahas tokoh-tokoh ternama
pada saat itu, yang karya-karyanya cukup mempengaruhi perkembangan sastra pada
masa-masa selanjutnya. Tidak hanya dunia sastra saja, mereka turut mempengaruhi
tata bahasa Indonesia dengan buku-buku ensiklopedi ataupun kamus yang mereka
rancang. Ataupun dengan karya-karya sastra lain yang turut mewarnai situasi
politik saat itu.
Beberapa tokoh yang mengukir sejarah pada masa
itu, adalah:
1.
Raja Ali Haji Karena pentingnya bahasa
Melayu dalam skema konsolidasi kolonial, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
bersikap lunak, dan bahkan menyokong secara penuh semua aktivitas literer Raja
Ali Haji (1804-1872) di Pulau Penyengat, pusat kerajaan Riau-Lingga, melalui
seorang utusan yang bernama H. Van Eysinga. Raja Ali Haji membina bahasa Melayu
dengan membuat sebuah buku tata bahasa Melayu yang berjudul Bustan
al-Katibin, terbit pada 1857.Buku ini
kemudian disusul oleh semacam kamus yang mirip ensiklopedi dengan judul Pengetahuan
Bahasa pada 1859.Dengan kitab tata
bahasa dan kamus itu, para pemakai bahasa Melayu, baik Bumiputera maupun
kolonial, mendapat panduan untuk memakai bahasa Melayu yang baik. Selain
karya-karya kebahasaan Melayu, Raja Ali Haji juga menciptakan karya-karya
sastra lain. Yang paling terkenal tentu saja Gurindam Dua Belas,(1847).Selain itu, Raja Ali Haji juga menulis Silsilah
Melayu dan Bugis (1861), Tuhfat
Al-Nafis (1866) dan lain-lain.
2.
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi Abdullah
bin Abdul Kadir Munsyi (1797-1854) mengawali karir kepenulisan sebagai pembantu
bagi ayahnya, yang membantu Marsden menyusun A History of
Sumatra. Abdullah juga mengumpulkan
naskah-naskah lama dari Lingga, Riau, Pahang, Trengganu, dan Kelantan. Menurut
Piah, sebagian besar dari manuskrip yang ada dalam koleksi Library of Royal
Asiatic Society of London dan koleksi lengkap di American Library of Congress
berasal dari tangan Abdullah. Sepanjang hidupnya, Abdullah meniti karir sebagai
guru bahasa dan juru bahasa untuk para sarjana Barat dan misionaris
Kristen.Karya Abdullah yang paling terkenal tentu sajaHikayat Abdullah (1849) yang merupakan riwayat hidupnya sendiri dan
diterbitkan di Singapura. Karya-karyanya yang lain adalah Kisah
Pelayaran Abdullah Sampai ke Negeri Kelantan (1838), Syair Singapura Dimakan Api (1843), Cerita Kapal Asap (1843), Syair Kampung Gelam /Terbakar (1847).
Selain
itu, Abdullah juga terlibat dalam kerja kolaboratif dengan para misionaris
seperti Thomsen, North, dan Krasberry.Para sarjana kolonial memberikan
tanggapan yang positif dan bertendens terhadap kerja-kerja literer, dan
memandang karya-karya Abdullah terutama dengan pendekatan sejarah.Selain itu,
dalam isinya pun Abdullah telah berani mengupas masalah sosial dan kehidupan
sehari-hari, dan bahkan melontarkan kritik yang sangat pedas terhadap adat
istiadat yang berlaku pada waktu itu. Walaupun memperoleh berbagai tanggapan
bernada positif, namun Amin Sweeney (2005) menerangkan bahwa posisi Abdullah
yang kokoh dalam sejarah sastra Melayu tersebut adalah tendens yang didukung
oleh penguasa kolonial pada masa Abdullah hidup. Begitu juga, nilai yang
terkandung dalam karya-karya Abdullah, sebenarnya telah disunting oleh para
penyunting karya-karyanya yang merupakan misionaris Kristen dan membawa
agenda-agenda budaya dan politik Barat.
Jadi,
tidak aneh jika karya-karya Abdullah (yang telah disunting) terbit dalam media
seperti Cermin Mata di
Singapura yang dikelola oleh misionaris Protestan.Naguib Al-Attas bahkan
menyatakan bahwa peranan pelopor modernisasi kesusastraan Melayu seharusnya
ditarik lebih jauh lagi kepada Hamzah Fansuri, bukan Abdullah.Pendapat Al-Attas
dilandasi argumen bahwa Abdullah mengambil teladan kebahasaan dari Sejarah
Melayu, padahal bahasa dalam karya teladan
itu adalah bahasa yang membayangkan pandangan hidup lampau yang dipengaruhi
konsep-konsep Animisme-Hindu-Buddha.(Naguib Al-Attas, Islam
dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, cetakan
keempat, Mizan, Bandung)
3.
Multatuli Seiring
dengan giatnya pemerintah kolonial dalam mengembangkan bahasa Melayu, bangsa
Barat juga mengembangkan kesusastraannya sendiri dengan menggunakan medium
bahasa-bahasa Barat namun mengambil inspirasi dan tema dari dunia
Melayu.Hasil-hasil kesusastraan bangsa Barat semacam ini meninggalkan pengaruh
yang besar pada masyarakat jajahan, dan salah satu di antaranya bahkan sanggup
menentukan arah politik kolonial Belanda.Multatuli menulis roman Max
Havelaar yang ditulis dalam bahasa
Belanda dan berkisah tentang kehidupan rakyat jajahan di Banten yang menderita
di bawah birokrasi kolonial selama masa Tanam Paksa.
Roman
ini diajarkan di sekolah-sekolah negeri pada masa kolonial, dan bahkan tetap
diajarkan juga setelah Indonesia merdeka, terutama dalam pelajaran sejarah.
Roman ini dianggap sanggup membuka mata politisi di Negeri Belanda akan
kebobrokan administrasi pemerintahan di Hindia Belanda sehingga rakyat petani
Indonesia menderita. Karena pengaruh buku ini, maka sistem Tanam Paksa kemudian
diganti dengan sistem liberal yang menyerahkan kekuasaan ekonomi kepada pihak
swasta di Hindia Belanda.Walhasil, roman ini kemudian berkembang menjadi
semacam mitos tentang kedigdayaan karya sastra dalam mengubah arah politik
suatu pemerintahan. (Dikutip dari http://melayuonline.com/ind/literature/dig/2490/latar-belakang-sejarah-kesusastraan-melayu-masa-pengaruh-kolonial,
akses 21 Maret 2013. Lihat juga James T. Collins,Bahasa Melayu,
Bahasa dunia, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005).
G. Penutup
Tidak
diragukan lagi, peran sastra Melayu dalam perkembangan bahasa dan kesusasteraan
Indonesia sangat signifikan. Perbendaharaan kata yang kita temukan saat ini,
tentu tidak lepas dari peran akulturasi kebudayaan pada masa Hindu-Buddha
hingga Masa Transisi, sehingga menjadikan sebuah bahasa yang kaya akan nilai
dan estetika: Bahasa Indonesia.
Hal
lain yang perlu digarisbawahi, bahwa karya-karya sastrawan pada saat itu tidak
melulu berputar pada roman picisan ataupun karya-karya teenlit seperti yang sering kita temui di banyak pasaran saat
ini. Mereka berani mengambil langkah kritis dalam rangka merubah paradigma
rakyat, sehingga karya-karya mereka selalu lekang dibaca sebagai titisan
sejarah, serta mampu mewarnai situasi politik negara. Padahal, mengaca pada
masa kolonialisme saat karya-karya mereka dilahirkan, dengan pelbagai peraturan
otoriter dan kehendak pemerintah kolonial yang lalim, seyogyanya mematikan
perasaan mereka sebagai sastrawan. Tetapi tidak. dengan keadaan serba genting
tersebut, mereka jutru mampu menghadirkan karya-karya pengukir sejarah.
Maka,
kita sebagai calon generasi sastrawan muda, jangan sampai terbuai oleh keadaan
yang melenakan. Kondisi sosial pada zaman ini tidak sepolemik yang terjadi pada
masa lampau, tetapi seringkali kita terjebak pada keadaan serba tenang ini dan
terbawa arus. Apa harus situasi perang seperti yang terjadi pada masa kolonial,
dihadirkan kembali untuk menghidupkan kembali suasana melankolia dan
membangkitkan gairah kepenulisan kita yang terkubur?